REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah salah satu anak bangsa yang kiprahnya tidak hanya dikenal luas di wilayah Nusantara, namun juga hingga ke negeri-negeri tetangga.
Hamka, demikian orang-orang memanggil sosok ulama terkenal, penulis produktif, dan mubaligh besar yang berpengaruh di kawasan Asia ini.
Nama sebenarnya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah menunaikan ibadah haji pada 1927, namanya mendapat tambahan 'Haji' sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat Hamka.
Ensiklopedi Islam menyebutkan tokoh kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908 ini hanya sempat masuk sekolah desa selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) kira-kira tiga tahun.
Namun bakat yang dimilikinya dalam bidang bahasa, membuat Hamka dengan cepat bisa menguasai bahasa Arab, dan ini mengantarkannya mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat.
Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak Hamka sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaharuan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya. Ayah Hamka adalah H Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pelopor gerakan Islam 'Kaum Muda' di Minangkabau.
Sejak usia muda, Hamka sudah dikenal sebagai seorang pengelana. Sang ayah bahkan menjulukinya 'Si Bujang Jauh'. Pada tahun 1942, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin yang mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta.
Setelah beberapa lama menetap di Yogyakarta, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, AR Sutan Mansur, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah setempat.
Pada bulan Juli ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.
Pada bulan Februari 1927, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang enam bulan. Selama di Makkah, ia bekerja pada sebuah percetakan. Pada bulan Juli, ia memutuskan kembali ke Tanah Air dengan tujuan Medan dan menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir tahun 1927, ia kembali ke kampung halamannya.