Selasa 03 Apr 2012 19:19 WIB

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Tentang Pernikahan (2)

Pernikahan (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Pernikahan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Keuntungan lain dari perkawinan adalah bahwa duduk bersama dan bersikap baik terhadap istri adalah suatu perbuatan yang memberikan rasa santai kepada pikiran setelah asyik mengerjakan tugas-tugas keagamaan.

Dan setelah santai seperti itu seseorang bisa kembali beribadah dengan semangat baru. Demikianlah Nabi SAW sendiri, ketika merasakan beban turunnya wahyu menekan terlalu berat atasnya, beliau menyentuh istrinya Aisyah dan berkata, "Berbicaralah padaku wahai Aisyah, berbicaralah padaku!"

Dilakukannya hal ini karena dari sentuhan kemanusiaan yang hangat itu bisa mendapatkan kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang sama, beliau biasa meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan kadang-kadang beliau juga membaui wawangian yang harum.

Salah satu haditsnya yang terkenal adalah, "Saya mencintai tiga hal di dunia ini; wewangian, wanita dan penyegaran kembali dengan shalat."

Suatu kali Umar bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang paling penting untuk dicari di dunia ini. Beliau SAW menjawab, "Lidah yang selalu berdzikir kepada Allah, hati yang penuh rasa syukur dan istri yang amanat."

Keuntungan lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara rumah, memasak makanan, mencuci piring, menyapu lantai dan sebagainya. Jika seorang laki-laki sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa mencari ilmu, menjalankan perdagangannya atau melakukan ibadah-ibadahnya dengan sepatutnya.

Untuk alasan ini Abu Sulaiman berkata, "Istri yang baik bukan saja rahmat di dunia ini, tetapi juga di akhirat, karena ia memberikan waktu senggang kepada suaminya untuk berpikir tentang akhirat."

Dan salah satu di antara ucapan Khalifah Umar adalah, "Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai istri yang baik."

Tambahan lagi, perkawinan masih memiliki keuntungan yang lain, yaitu bersikap sabar dengan tetek-bengek kewanitaan—memberikan kebutuhan-kebutuhan istri dan menjaga mereka agar tetap berada di jalan hukum—adalah suatu bagian yang amat penting dari agama. Nabi SAW bersabda, "Memberi nafkah kepada istri lebih penting daripada memberi sedekah."

Suatu kali, ketika Ibnu Mubarak sedang berpidato di hadapan orang-orang kafir, salah seorang sahabatnya bertanya kepadanya, "Adakah pekerjaan lain yang lebih memberikan ganjaran daripada jihad?"

"Ya," jawabnya, "Yaitu memberi makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan sepatutnya."

Waliyullah yang termasyhur Bisyr Hafi berkata, "Lebih baik bagi seseorang untuk bekerja bagi istri dan anak daripada bagi dirinya sendiri." Di dalam hadits diriwayatkan bahwa beberapa dosa hanya bisa ditebus dengan menanggung beban keluarga.

Berkenaan dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa istrinya meninggal dan ia tak bermaksud kawin lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan pikirannya di dalam uzlah.

Pada suatu malam ia melihat dalam mimpinya pintu surga terbuka dan sejumlah malaikat turun, lalu mendekatinya dan salah satu di antara mereka bertanya, "Inikah orang celaka yang egois itu?" Dan rekan-rekannya menjawab, "Ya, inilah dia."

Wali itu sedemikian terperangahnya sehingga tidak sempat bertanya tentang siapakah yang mereka maksud. Tetapi tiba-tiba seorang anak laki-laki lewat dan ia pun bertanya kepadanya. "Andalah yang sedang mereka bicarakan," jawab sang anak. "Baru pekan yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat di surga bersama dengan wali-wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah menghapuskan nama anda dari buku catatan itu."

Setelah terjaga dengan pikiran penuh tanda tanya, dia pun segera membuat rencana untuk kawin. Dari semua hal di atas, tampak bahwa perkawinan memang diinginkan.

sumber : Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement