Selasa 27 Mar 2012 16:58 WIB

Antara Tanzih dan Tasybih (4-habis)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar    

Ada sejumlah ayat yang sering dijadikan dalil oleh para sufi di dalam mendukung pandangan tasybihnya, antara lain:

"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hadid: 4).

Surah lainnya, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya." (QS. Qaf: 16).

Lalu, "Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 115).

Dalam sebuah hadits disebutkan, Takhallaqu bi akhlaq Allah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT). Ini menunjukkan adanya keserupaan Allah dan makhluk dari segi sifat. Jika Allah Maha Kreatif (Al-Khaliq), Maha Pemaaf (Al-Afwu), dan Maha Sabar (As-Shabur), implementasinya manusia juga harus memaksimalkan diri meniru sifat Tuhan, yaitu menjadi makhluk yang kreatif, pemaaf, dan penyabar.

Ayat dan hadits di atas mengisyaratkan antara Tuhan dan hamba-Nya lebih tepat dikatakan memiliki hubungan immanen. Para sufi lebih tertarik mendekati Tuhan melalui jalur immanen ini. Sebab, mereka merasa didukung kenyataan ayat demi ayat Alquran lebih menonjolkan aspek immanen, feminitas, kelembutan, kasih-sayang, dan jamaliah-Nya.

Dengan lebih menekankan aspek tanzih Tuhan akan terbayang sebagai Tuhan maskulin, transenden, jauh, dan melahirkan suasana keagamaan formal dan cenderung kering. Sebaliknya, pada aspek tasybih Tuhan akan terbayang sebagai Tuhan feminin, immanen, dekat, dan melahirkan suasana keagamaan yang informal dan cenderung permisif.

 

Dari segi inilah Ibnu Arabi membuat analisis menarik. Memahami secara parsial dan terpisah kedua kualitas di atas tidak akan melahirkan kepribadian Muslim sejati. Tapi, yang justru diperlukan adalah memadukannya. Dia menggabungnya dalam konsep Huwa la Huwa (Dia yang Bukan Dia), yang akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement