REPUBLIKA.CO.ID,Beratus tahun lamanya Barat bergulat menggapai kestabilan, sementara Islam yang muncul dengan penuh dinamisme berhasil membangun peradaban kokoh hanya dalam jangka sekitar satu abad. Di tahun 630 pasukan Muhammad, nabi keyakinan baru itu, mencapai kemenangan gemilang, merebut Makkah, justru tanpa pertempuran. Dengan singkat mereka menguasai seluruh Jazirah Arabia, dan hanya dalam jangka 30 tahun berikutnya mereka sudah menaklukkan Persia, Mesopotamia, dan Mesir. Pada 750, Islam telah merebak dari Spanyol dan Afrika utara di sebelah barat sampai ke perbatasan Cina di timur.
Islam membawa keterpaduan merangkum hampir separo dunia yang dikenal orang. Dan seperti ditulis Nathaniel Harris dalam Picture History of World Art, seni yang dilahirkannya pun hakikatnya menggambarkan keterpaduan itu, kendati gaya-gaya setempat tetap hidup di dalamnya walau Dunia Islam terpecah menjadi negeri kecil-kecil dan tidak jarang pula saling bermusuhan.
Seni Islam adalah seni yang berwujud pola-pola saling berjalin berkelidan dengan warna warni cemerlang, menciptakan hiasan-hiasan pelapis permukaan gilang gemilang: permukaan dari batu berukir atau berpahat, lantai pualam yang berwarna-warni atau dilukis, kerajinan tembikar berhiaskan lukisan indah, karya logam denga pola-pola rumit, serta permadani dan tekstil yang kaya akan motif. Akan kita temukan di mana-mana kekayaan pola yang tercipta dari bentuk-bentuk geometrik dan bentuk-bentuk hidup. Para seniman Muslim membuat desain, bukan sekadar menggambar benda-benda atau peristiwa-peristiwa saja, seperti mereka itu terpesona akan ketidakterbatasan, bukan dunia materi atau semata-mata penggambaran saat-saat yang sudah berlalu.
''Antinaturalisme'' Islam membuat orang salah mengira, seolah-olah para seniman muslim dilarang menampilkan benda-benda hidup. Melihat kenyataannya, mereka dapat dan kerap melakukannya -- walau tak pernah dilakukan di masjid, sebab dikhawatirkan pelukisan benda riil itu akan menggoda para penganutnya ke arah penyembahan berhala. Rangsangan kepada pola-pola ternyata menukik lebih dalam dari sekadar larangan-larangan: sang seniman menggunakan citra-citra, yang hampir selalu dicipta menjadi gaya-gaya dan mereka menggarapnya sedemikian mewujudkan dekorasi permukaan yang melarut segalanya, sehingga tidak tampak sama sekali rujukannya kepada realitas.
Dari tradisi Yunani-Romawi, seniman tadi mengambil model dari alam, seperti sulur-sulur, dedaunan, dan gulungan-gulungan, lalu mengubah semua itu menjadi pola-pola arabesque yang berjalin satu dengan yang lain. Ia menggunakan pola garis-garis untuk membentuk anasir abstrak seperti bintang-bintang dan poligon. Bahkan ia mencipta pola-pola dari tulisan Arab, dengan begitu menjadikan kaligrafi huruf-huruf Alquran hiasan yang indah-indah. Pola, bukan struktur, akan menerpa pandangan saat orang berada di Masjid Cordoba. Dalam sebuah gereja abad pertengahan, lengkungan-lengkungan sangat jelas nampak perannya sebagai penopang; di masjid ini, lengkung gandana, penopang ramping dan dua warnanya menekankan hubungan antara lengkungan dan lengkungan, bukannya antara lengkungan dan atap. Batu bata yang berwarna juga akan memaksa mata memandang ke sepanjang ruangan, yang tampak tak terbatas di bawah lengkungan yang kian mengecil.