REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya
Setelah tumbangnya kekuasaan Dinasti Umayyah, kemudian muncullah Dinasti Abbasiyah sebagai penguasa dunia Islam. Abbasiyah merupakan salah satu dinasti Islam terlama, yakni menguasai dunia selama lebih dari lima abad (750-1258 M). pada era kekuasaan Abbasiyah peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya.
Dinasti Abbasiyah mulai melemah setelah banyaknya mazhab yang menentang pemerintahan. Selain itu, berbagai pemberontakan dan gerakan yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat bermunculan di berbagai wilayah. Tak cuma itu. Munculnya perdebatan intelektual yang dalam berbagai hal yang menjurus kepada konflik juga membuat adidaya dunia di era kekhalifahan itu meredup.
Para raja kecil
Tumbuhnya negeri-negeri yang berhaluan Syiah dan Khawarij di wilayah pinggiran, serta sejumlah gubernur yang diangkat oleh Abbasiyah menjadi begitu kuat dan berpengaruh membuat mereka membangun dinasti sendiri di daerahnya dan mewariskan kedudukannya kepada keturunannya.
Salah satu contohnya adalah Dinasti Aglabid di Afrika Utara. Dinasti ini didirikan oleh seorang gubernur Abbasiyah yang dikirim oleh Khalifah Harun ar-Rasyid ke Tunis pada tahun 800 M.
Keutuhan wilayah Abbasiyah juga terancam dengan hadirnya armada angkatan laut Bizantium (Romawi Timur), yang mendarat di delta Sungai Nil. Ahmad bin Tulun yang dikirim oleh Abbasiyah pada tahun 868 M untuk mengamankan Mesir, justru memproklamirkan kemerdekaan dari Abbasiyah, dengan mendirikan Dinasti Tulun.
Elite militer dan pedagang
Disintegrasi Abbasiyah menjadi sejumlah dinasti propinsi yang independen menunjukkan adanya perubahan yang mendasar dalam struktur pemerintahan dan masyarakat. Munculnya elite miiter bekas budak dan sistem pengaturan konsesi lahan semakin memperjelas bahwa bukan saja penguasa Abbasiyah yang semakin lemah, akan tetapi memang terjadi pergeseran kekuasaan dari elite lama ke elite baru.
Transformasi sistem sosial dan politik itu telah dimulai pada abad ke-9 M. Pemerintahan Abbasiyah awal didirikan atas koalisi pejabat pemerintahan pusat dengan keluarga pengusaha dan tuan tanah di daerah. Setelah beberapa abad, para pejabat pemerintahan pusat cenderung semakin didominasi oleh keturunan birokrat istana dan meminggirkan mereka yang berasal dari keluarga penguasa daerah.
Ketika generasi birokrat semakin berkuasa, Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah kehilangan kontak dengan daerah taklukannya, hingga akhirnya birokrasi menjadi organisasi yang berbasis di ibukota dan jarang terkait dengan propinsi. Pejabat dan para stafnya tidak lagi mewakili kepentingan berbagai ragam penduduk.
Kebijakan sentralisasi fiskal yang diterapkan pemerintahan Abbasiyah, mendorong kalangan elite pedagang untuk menggeser para penguasa tradisional dan tuan tanah di daerah. Bahkan keberadaan para elite pedagang ini juga menandingi korps birokrat dan perwira militer.
Persoalan ekonomi
Kebangkrutan ekonomi pada akhirnya memporak-porandakan kekuasaan Abbasiyah. Permasalahan besar yang dihadapi dinasti ini pada masa akhir kekuasaannya adalah menurunnya sumber pendapatan penguasa.
Perang saudara yang tiada henti dan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Qaramitah membuat daerah-daerah kantong pertanian menjadi terbengkalai. Kondisi ini tidak saja memperlemah kedudukan Abbasiyah, tetapi sekaligus justru makin memperkuat posisi lawannya.
Pada tahun 326 H/937 M, Muhammad bin Ra'iq, panglima militer kota Wasit yang terletak di tepi Sungai Tigris, menghancurkan Bendungan Nahrawan dan merusak saluran irigasi. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa menenggelamkan tentara lawannya dan memutuskan sumber logistik mereka. Ternyata, hal ini justru merusak sumber bahan makanan pihaknya sendiri dan seluruh warga kota Baghdad.
Pecahnya Bendungan Nahrawan adalah peristiwa paling dramatis yang menandai hancurnya perekonomian dan melemahnya kekuasaan Abbasiyah. Situasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Muhammad bin Ra'iq untuk mendesak Khalifah ar-Radi menyerahkan pemerintahan sipil dan militer kepadanya.