Jumat 02 Mar 2012 15:25 WIB

Prof Mohammad Rasjidi: Sang Penjaga Akidah Umat (Bag 4-habis)

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Heri Ruslan
Mohammad Rasjidi
Foto: blogspot
Mohammad Rasjidi

REPUBLIKA.CO.ID, Ketertarikannya pada filsafat telah muncul sejak ia menimba ilmu di Sekolah al-Irsyad, Lawang, Jawa Timur. Ensiklopedi Islam mencatat, pada usianya yang ke-15, Rasjiditelah berhasil menghafal buku logika karangan Aristoteles. Syekh Ahmad Soorkati pun sangat menyayanginya.

 

Konsistensinya untuk membela Islam telah ditunjukkan sejak belajar di Kairo, Mesir. Saat menjabat Menteri Agama, secara tegas Rasjidi menolak adanya internalisasi nilai-nilai globalisasi pada Islam.

 

Baginya, posisi dan fenomena Islam tidak dapat disandingkan dengan segala sesuatu yang berlaku dalam agama apapun. Monoteisme dalam agama Islam adalah kebenaran final yang tidak dapat diubah atau dikembangkan dengan alasan apapun, termasuk globalisasi. Islam, baginya, adalah penyempurna ajaran-ajaran yang turun sebelumnya.

Saat menjadi Associate Professor di McGill University, Quebec, Kanada, ia sempat  mendebat Prof Joseph Schacht yang mengatakan bahwa segala perselisihan yang terjadi di kalangan umat Muhammad SAW diselesaikan menurut arbitrase (perantara). Menurut Schacht, itu sebabnya kata-kata yang dipakai dalam memutuskan perkara adalah hakama (menengahi), bukan qad (memutuskan).

Rasjidi menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin menggunakan sistem hakama dan arbitrase setelah menerima wahyu. Keduanya, menurut Rasjidi, hanya digunakan jika tidak ada teks hukum  dalam Alquran.

Di Tanah Air,  Rasjidi juga aktif mengkritisi dan mengoreksi Rasjidi pendapat dan pemikiran sejumlah tokoh. Salah satu kritiknya yang cukup fenomenal ia lancarkan kepada Nurcholish Madjid, melalui buku Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (1972).

Selain Nurcholish, ia juga mengkritisi pemikiran Prof Harun Nasution. Kritik Rasjidi pada pemikiran Harun dipublikasikan melalui buku berjudul Koreksi terhadap Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Dalam buku itu, ia membantah semua pemikiran tokoh aliran rasionalis tersebut, yang menyebut perkembangan teologi sebagai hasil evolusi.

Rasjidi mengkritik cara Harun dalam menyajikan gambaran tentang agama-agama. “Cara penyajian dalam buku ini (buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Harun Nasution) adalah cara pengarang Barat yang dalam pikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya sama dan merupakan gejala sosial yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia,” tulisnya.

Tak heran jika Rasjidi dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang kritis terhadap pemikiran Barat dan orientalis, meski ia mengenyam berbagai pendidikan tinggi di Barat. Wartawan kawakan Rosihan Anwar, seperti dikutip Adian Husaini dalam catatan Mengenang 90 Tahun Prof. HM. Rasjidi (2005), melukiskan Rasjidi sebagai sosok yang lembut dan sopan.

“Tapi di balik wajah dan penampilan demikian terdapat semangat kerja keras bagaikan baja, apalagi jika persoalan prinsip dan keyakinan yang menjadi urusan,” katanya. Dalam pengantar buku 70 Tahun Prof. DR. HM Rasjidi (1985), mantan Menteri Agama pada era Orde Baru, Munawir Sjadzali mengakui kegigihan Rasjidi dalam soal prinsip.

“Banyak hal yang kita, khususnya para ilmuwan Islam dan cendekiawan Muslim seangkatan saya dan angkatan-angkatan sesudahnya, perlu belajar dari Bapak Rasjidi, antara lain keyakinan beliau yang mutlak akan kebenaran Islam, disertai disiplin ilmiah yang tinggi,”  tutur Munawir Sjadzali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement