Kamis 01 Mar 2012 20:35 WIB

'Gitu Aja Kok Repot' di Makam Gus Dur

Rep: Agung Sasongko/ Red: Chairul Akhmad
Sejumlah peziarah berdoa di depan makam KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di pemakakam Ponpes Tebu Ireng, di Desa Cukir, Kec. Diwek, Jombang, Jawa Timur.
Foto: Antara/Aguk Sudarmojo
Sejumlah peziarah berdoa di depan makam KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di pemakakam Ponpes Tebu Ireng, di Desa Cukir, Kec. Diwek, Jombang, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG – Slogan "gitu aja kok repot" tampaknya membekas di kalangan peziarah yang mengunjungi makam tokoh bangsa, Abdurahman Wahid atau lebih akrab Gus Dur.

Tidak percaya, tengok saja suasana di kisaran kawasan makam, di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.

"Gitu aja kok repot" pertama, terlihat pada kedatangan para peziarah yang datang dari seantero Jawa Timur. Mereka umumnya datang dengan menggunakan bis besar. Ratusan peziarah, kebanyakan ibu-ibu, turun dari bis tersebut. Masalahnya, Pondok Pesantren Tebu Ireng tidak menyediakan lahan parkir yang menjadi tempat bersandarnya bis-bis besar tadi.

Tapi ya, "gitu aja kok repot", para supir bis besar tidak pusing kepala mencari parkir. Hanya banting stir ke kiri, tentunya atas bantuan juru parkir, masalah ketiadaan parkir dapat teratasi.

Sebab, ada jeda setengah meter dengan jalan utama sehingga cukup bagi bis untuk menepi. Rombongan peziarah pun dengan leluasa turun membawa niatan tulus untuk menziarahi makam mantan Presiden RI yang disegani itu, kendati jalanan utama di dekat kawasan Pondok Tebu Ireng terbilang ramai dengan lalu lalang kendaraan.

Nah, "Gitu aja kok repot" bagian kedua, tidak semua peziarah membawa kamera saku untuk mengabadikan kedatangan mereka ke makam. Lagi-lagi, mereka tidak ambil pusing soal itu. Mereka turun dari bis tidak untuk sekedar jalan-jalan. Mereka meminta juru keker yang biasa beredar di lokasi makam bersejarah untuk mengabadikan kedatangan mereka. Para Mat Kodak amatir ini segara menghampiri, dan menjepret.

Para juru foto yang berjumlah tiga orang telah siaga dengan kamera saku dengan kualitas foto yang cukup baik untuk mengabadikan kedatangan para peziarah. Tanpa aba-aba atau arahan, fokus lensa kamera segera memindai sekitar wajar hingga badan peziarah, dan jepret! "Ya biasalah, Mas. Kalau ziarah pasti harus ada kenang-kenangannya," kata Arifin, warga setempat sambil menunjukkan kamera saku berpiksel 12 MP, Kamis (1/3).

Tak butuh lama bagi Arifin untuk segera menghadirkan hasil karyanya kepada peziarah yang hendak pulang. Ia hanya butuh 15 menit, untuk memajang foto-foto para peziarah dengan ragam ekspresi spontan pada bagian belakang bis yang ditumpangi peziarah. Ia banderol setiap hasil karyanya seharga Rp 5.000. Murah meriah bukan. "Ya enggak mesti harga segitu, Mas. Kadang kalau peziarah nawarnya hebat, bisa jadi Rp 3.000," kata Mat Kodak yang dalam sehari bisa mengantongi keuntungan Rp 50.000 itu.

Namun, perlu diketahui bisnis jepret kilat ini bukannya tanpa risiko. Tapi Arifin cuek. Ia tentu meniru teladan Gus Dur, "gitu aja kok repot". Tidak laku Rp 5.000, ia pun mengobral foto karyanya dengan harga Rp 3.000. Walhasil, laris manis tentunya.

"Gitu aja kok repot" ketiga, para peziarah yang rindu dengan sosok almarhum ini, bakal ditawari beragam pernak-pernik. Mulai dari kaos oblong hingga kepingan CD dokumentasi prosesi pemakaman almarhum Gus Dur.

Tentu masih hangat dalam ingatan, sulit untuk menyaksikan secara langsung prosesi pemakaman almarhum. Mengingat penjagaan keamanan yang demikian ketat lantaran orang nomor satu di Republik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta para pembantunya hadir.

Lagi-lagi, "gitu aja kok repot". Warga lokal dengan ide brilian menggandakan tayangan langsung siaran televisi nasional untuk dijual sebagai cinderamata bagi para peziarah. Untuk satu keping CD dibanderol Rp 10.000. "Dulu kan banyak yang mungkin tidak menonton atau hendak menyaksikan lagi bagaimana prosesi itu berlangsung. Jadi, inisiatif warga sini yang menjual kepingan CD itu," ungkap Mudzakir Adnan, salah seorang pedagang CD tersebut.

Kepingan CD tentang Gus Dur, kata dia, merupakan cinderamata yang cukup laris. Beda halnya dengan buku-buku. "Memang tidak selaku kaos oblong, tapi lumayan banyak dicari," tambah Mudzakir.

Bila dilihat dari minat, rasanya peziarah enggak mau repot membaca buku. Tapi lebih memilih untuk menyaksikan lewat layar kaca. Sangat logis memang, kalau dilihat dari budaya membaca masyarakat Indonesia yang terbilang rendah. Jadi, "Gitu aja, kok repot!"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement