Jumat 17 Feb 2012 21:00 WIB

Epistimologi Makrifat (3-habis)

Makrifat (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Makrifat (ilustrasi).

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu maka akan tampak jelas Tuhannya.

Dzun Nun Al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifat seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT.

Kata Al-Hallaj, “Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar.”

Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki."

Selanjutnya ia menambahkan, “Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."

Untuk urusan lebih teknik dalam memperoleh makrifat, Ahmad Ibn Atha berkomentar, “Makrifat itu memiliki tiga rukun; takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah.”

Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah an-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.

Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial, sehingga mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini antara lain fas’alu ahl al-dzikr inkuntum la ta’lamun (Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu), Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, tashwir, tadzkiyah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.

Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai, adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).

Perhatikan ayat di atas, Allah SWT mengedepankan proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) baru proses pendidikan (ta’lim). Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifat sebagaimana banyak dipraktikkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang murid sangat sayang pada guruhnya.

Mereka terkesan dengan sebuah qaul (pepatah), "al-ustadz amam al-murid ka al-nabiy amam al-shahabah (guru di depan murid bagaikan nabi di depan sahabat)". Perilaku kritis berlebihan dari seorang murid terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah terlihat di dalam pengalaman sehari-hari bagi para pencinta makrifat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement