Jumat 17 Feb 2012 14:04 WIB

Maratib Al-Ijma, Inventarisasi Konsensus Ulama (2)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ijma (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Ijma (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Ibnu Hazm, kriteria terpenting sebuah ijma adalah kesepakatan bulat para ulama menyikapi persoalan tertentu. Tak ada satu pun perbedaan pendapat terkait masalah itu.

Karenanya, selama masih ada perbedaan di salah satu opsi ataupun pihak, seperti konsensus ulama di wilayah dan masalah tertentu—misalnya ijma ulama Madinah, Kuffah, ataupun Bashrah—maka selama ada pembatasan wilayah ataupun simplifikasi pada satu kalangan, kesepakatan itu tidak termasuk kategori ijma penuh (ijma tam).

Guna melacak keberadaan konsensensus terkait sebuah kasus, maka bisa diperoleh dari beragam referensi. Di antara contoh konsensus yang tak menyisakan ruang perbedaan lagi misalnya fakta sejarah tentang eksistensi Dinasti Muawiyah, Abbasiyah dan Perang Siffin. Informasi itu akan memberikan keyakinan bahwa memang konsensus ulama telah terjadi tanpa keraguan sedikit pun.

Ibnu Hazm menegaskan, ulama yang dimaksud bukan sembarang ulama. Melainkan, konsensus itu tak lain adalah kesepakatan yang muncul dari para ulama yang berkomitmen, konsisten, serta berpegang teguh pada Alquran dan menjaga sunah Nabi SAW, sahabat, dan para pengikut mereka. Di luar kelompok itu, seperti Abu Al-Hudzail, Basyar bin Al-Mu’tamir, Ibrahim bin Sayyar, ataupun Ja’far bin Harb tidak dikategorikan sebagai ulama.

Bahkan, kesepakatan golongan ini pun tak dapat dijadikan sebagai sebuah konsensus. Tak lain karena, pandangan dan ideologi yang mereka usung menurut arus utama Ahlus Sunnah Waljamaah, sering kali berseberangan dengan Alquran dan sunah.

Kendati demikian, satu hal yang penting dicatat, Ibnu Hazm sendiri menegaskan pihaknya tak menjatuhkan vonis kafir bagi mereka yang berbeda pendapat karena mengikuti konsensus mayoritas. Bisa jadi, sikap berbeda mereka tersebut dilatarbelakangi ketidaktahuan akan batas-batas fatwa atau barangkali lantaran kefasikan dan kegilaan mereka.

Terkait inventarisasi konsensus itu, Ibnu Hazm menyebutkan, di bidang ibadah kesepakatan ulama antara lain menyangkut bab bersuci. Ihwal hukum menggunakan air mengalir, misalnya, ulama sepakat boleh dipergunakan selama tidak tercampur najis yang mengubah kesuciannya. Hal yang sama juga berlaku untuk status air yang mengendap. Jika volume air banyak, selama tidak ada barang najis yang mengubah warna, rasa, dan baunya, ulama sepakat air itu suci dan mensucikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement