REPUBLIKA.CO.ID, Ahad pagi, pelataran belakang kediaman keluarga Bambang Triatmodjo di Kavling Madukismo no 28 Seturan, Condong Catur, Yogyakarta, tampak semarak. Ada belasan orang di sana. Mereka merupakan jamaah Majelis Taklim ar Rahmah.
Satu kesamaan di antara para anggotanya, baik Muslim dan Muslimah, yakni sama-sama mualaf. Inilah majelis taklim binaan Abdurrahman Al Gonzaga, yang salah satu programnya membina para mualaf. Pengajian rutin dilakukan setiap Ahad.
Lokasi pengajian selalu berpindah tempat, biasanya digelar di kediaman para donatur. ‘’Sebab, kami belum punya tempat atau kantor permanen, jadi masih pindah-pindah,’’ papar Abdurrahman.
Meurut dia, anggota majelis taklimnya mencakup sekitar 30 KK, atau 70-an jiwa. Meski begitu, yang aktif mengikuti pengajian sebanyak 20-30 jamaah. Materi pengajian disusun sedemikian rupa, mulai dari pelajaran shalat atau ibadah dasar, membaca Alquran, diskusi, dan lainnya.
Seperti yang terlihat saat itu, mereka serius menyimak tausiyah dari seorang guru agama. ‘’Pengajian ini sudah terbentuk sejak dua tahun lalu. Alhamdulillah terus berkembang,’’ paparnya.
Hadirnya majelis taklim itu berangkat dari pengalaman pribadi Abdurrahman. Dia menginginkan agar para mualaf memperoleh pembinaan yang intensif. Dirinya telah merasakan begitu berat perjuangan pada masa-masa awal menjadi mualaf.
Abdurrahman mengisahkan, bahwa bila hanya sekadar teknis ibadah, semisal shalat, wudhu, dan sebagainya, tidak terlampau sulit dipelajari. Tetapi ketika harus melakukan secara istikamah, misalnya, shalat lima waktu, ternyata sungguh perjuangan berat.
Subuh dan Ashar diakui paling sulit untuk rutin ditunaikan. Padahal, biasanya dia bisa bangun pagi. Tapi, ‘’Ketika sudah masuk Islam, justru susah sekali.’’ Akhirnya, shalat lima waktunya ‘bolong-bolong’. Ayah dari dua putri ini tak ragu menyebut belum menunaikan shalat wajib dengan baik.
Dari situlah, dia mulai merasakan hidupnya tidak terarah, mudah berpikiran negatif, bahkan kerap putus asa. Sampai dia bertemu rekan sesama mualaf, Ibu Wiwik namanya, pada tahun 2005. Ia menanyakan kabar Abdurrahman, yang segera dijawab bahwa hidupnya kian susah setelah masuk Islam. Tak dinyana, ibu Wiwik bertanya tentang shalat lima waktunya.
‘’Ya, masih bolong-bolong,’’ jawab dia. Maka sekonyong-konyong, Bu Wiwik berkata, ‘’Ya wajar hidupmu susah, kewajibanmu terhadap Allah SWT saja belum terpenuhi kok kamu minta hakmu.’’
Kata-kata itu menyentuh bathinnya yang terdalam. ‘’Sejak itu, saya memaksakan diri untuk selalu shalat lima waktu. Hingga sekarang,’’ tegas Abdurrahman.
Ibadah lain yang juga dirasakan berat yakni puasa. Sebab, ini adalah hal yang baru baginya. Memang, dalam agama Katolik ada puasa pula, tapi puasa yang dilakoni hanya mengurangi porsi makan. Sedangkan di Islam, tidak boleh makan sama sekali.
Maka, selama enam tahun pertama, dia tidak bisa puasa penuh. Dan hidayah kembali datang. Pada suatu malam takbiran, di kampung istrinya diadakan lomba takbir keliling. Menyaksikan itu, tanpa terasa ia menangis.
‘’Karena saya berpikir, mereka bertakbir untuk merayakan kemenangan atas hawa nafsu dan puasa sebulan penuh, tapi saya rayakan apa?’’ tanya Abdurrahman dalam hati. ‘Sentuhan’ itu membuatnya membulatkan niat, untuk bisa puasa penuh pada Ramadhan berikutnya.
Dikatakan, yang mengalami problema serupa ternyata bukan hanya dia sendiri, melainkan rekan sesama mualag yang lain. Hidup jadi susah, ekonomi sulit, susah bergaul, dan banyak lagi. Namun apabila dirunut lagi, sambungnya, masalah berawal dari ibadah shalat yang belum benar.
‘’Semua itu harus dibenahi. Belajar dari sana, saya pun memacu diri serta terus memotivasi teman-teman lain untuk beribadah dengan sebenarnya,’’ tutur dia lagi.
Kepada dirinya sendiri, keluarga, dan teman mualaf, Abdurrahman selalu menyampaikan bahwa mereka dipanggil masuk Islam bukan sekadar memeluk agama ini, tapi harus berjuang memantapkan iman Islam, dan itu harus dimulai dari diri sendiri.
‘’Masuk Islam bukan suatu kebetulan, tapi hidayah dan rahmat Allah SWT. Kalau cara pandang kita seperti itu, insya Allah membuat kita kuat ketika menghadapi kesulitan dan aneka tantangan,’’ tuturnya berpesan.