REPUBLIKA.CO.ID, Ketika menghadapi cobaan berat, Abdurrahman Al Gonzaga dihadapkan pada dua pilihan. Terus bertahan atau menyerah. Rupanya, takdir membawa pria kelahiran Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) itu pada hidayah Islam. Ia pun menjadi mualaf. Namun, setelah itu, ia dihadapkan pada tantangan yang sangat berat sebagai seorang Muslim.
Tahun-tahun pertama usai mengucap dua kalimah syahadat, Abdurrahman menghadapi aneka kendala. Tidak mudah menjalani hari-hari, lantaran kesulitan pada berbagai aspek. Begitu pula ketika berniat lebih mendalami Islam. Padahal, ia sangat ingin menjadi Muslim yang sebenarnya.
Berbagai kendala dan tantangan itu tidak menggoyahkan imannya. Abdurrahman terus berjuang. Ia menimba ilmu agama walau terkadang harus dicapainya sendiri. Hingga suatu saat, ia sampai pada kesimpulan. Selaku mualaf, ia harus proaktif, tidak bisa hanya menunggu. Itulah kunci suksesnya.
Kini, ia aktif membina para mualaf. Abdurrahman mendirikan komunitas mualaf di Yogyakarta, dan rutin mengadakan kegiatan agama. Ia berharap, para mualaf memperoleh pembinaan, perhatian, serta bimbingan, sehingga mereka bisa mempertebal kecintaannya kepada Islam.
***
Abdurrahman menginjakkan kaki di Tanah Jawa, tepatnya di Yogyakarta, tahun 1993 silam. Tujuannya hanya satu, yakni menempuh studi di Seminari Tinggi Misionaris Keluarga Kudus, di Jl Kaliurang. ‘’Saya dikirim oleh keluarga dan keuskupan agung Kupang ke seminari untuk dididik khusus menjadi imam atau pastor,’’ paparnya, beberapa waktu lalu.
Ia pun tekun belajar agama. Maklum, menjadi pastor adalah dambaan keluarga besarnya, karena ayah serta beberapa kerabatnya, adalah tokoh agama di Kupang. Sehingga ia diharapkan bisa mengikuti jejak langkah mereka pula.
Hanya, setelah lima tahun berjalan, Abdurrahman merasa tidak sanggup untuk menjadi pastor. Dirinya belum siap untuk selibat, hidup sederhana, berkaul, dan lainnya. ‘’Sehingga, saya memutuskan untuk keluar dari biara,’’ tutur pria kelahiran tahun 1971 itu.
Selanjutnya, ia tinggal di kos-kosan, yakni di Kampung Lelet, di sebelah selatan Condong Catur, lingkungan komunitas Muslim. Bahkan pemilik rumah kosnya juga orang Muslim. ‘’Itu memang kebetulan, awalnya saya tidak berpikir macam-macam apakah harus kos di rumah yang pemiliknya Nasrani.’’
Dan kebetulan tersebut membawanya ‘berkenalan’ lebih dekat dengan Islam. Kampung Lelet membuat Abdurrahman berinteraksi dengan umat Islam. Dia pun mengaku baru mengenal sosok kaum Muslim, kehidupan ibadahnya, dan lain-lain, di sana.