Senin 06 Feb 2012 15:09 WIB

Kisah Tentara AS yang Menjadi Imam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Djibril Muhammad
Mayor Khallid Shabazz saat berseragam dinas
Foto: chronicle.augusta.com
Mayor Khallid Shabazz saat berseragam dinas

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Posturnya yang tinggi besar dan berkulit hitam mungkin pemandangan umum di korps angkatan darat AS. Namun, ada satu hal yang membuatnya cukup mencolok, yakni bordiran bulan sabit hitam terjadi di topi dinasnya. Ya, itulah penampilan keseharian Mayor Khallid Shabazz saat berseragam dinas.

Dengan lambang itu, Khallid dikenal sebagai seorang Imam yang mewakili representasi Muslim dalam tentara AS. Dengan posisinya itu, Khallid selalu mendapat perhatian lantaran kebijakan AS melawan kelompok Muslim garis keras selama satu dekade. "Saya bukan seorang imam, tapi saya seorang Muslim," kata dia seperti dikutip agusta.com, Senin (6/2).

Saat ini, AS menempatkan sejumlah imam dalam beberapa lokasi Strategis. Khallid sendiri ditempatkan di Jerman. Di sana ia bertugas membimbing tentara AS yang Muslim. Namun, dalam praktiknya ia justru memberikan pengarahan kepada tentara AS beragama Kristen.

Sebelum memeluk Islam, Khallid yang dahulu bernama Michael Barnes merupakan individu yang dibesarkan dalam keluarga Kristen yang taat. Semasa remaja, Khallid banyak melalui hal pahit. Puncaknya saat ia dipukuli dan ditembak oleh kelompok tak dikenal.

Selanjutnya, kehidupan Khallid berubah drastis setelah ia diharuskan mengikuti wajib militer. Baginya, kewajiban itu menjanjikan harapan baru berupa kehidupan yang lebih baik. Benar saja, kehidupan militer sangat cocok bagi Khallid. Tapi posisinya sebagai tentara garis depan membuatnya sengsara.

Suatu ketika, ia mendapati sebuah diskusi religius dengan seorang Muslim. Dari diskusi itu, ada perubahan perspektif dalam dirinya tentang agama. Ia pun memutuskan memeluk Islam. Keputusannya itu mendapat cemooh dari atasannya. "Mengapa anda melakukan sesuatu yang bodoh," ungkap dia.

Melihat komentar itu, Khallid terpukul. Namun, seorang pendeta Katolik menyarankannya untuk menjadi ulama militer. "Sepertinya itu adalah wahyu. Saya merasa ada hal yang harus dikerjakan," kenang Khallid. Ia mengawali niatan itu dengan mengubah namanya menjadi Khallid Shabbaz. Ia pelajari bahasa Arab dan Islam di Yordania.

Tugas besarnya pun dimulai pada 2004. Saat itu, ia ditugaskan untuk menjadi ulama bagi tahanan teroris di penjara Guantanamo, Kuba. Ia menggantikan ulama bernama Yusuf Lee yang ditahan atas tuduhan penghasutan. "Saat itu, saya tidak punya waktu untuk takut," katanya.

Khallid awalnya merasa seperti orang buangan di Guantanamo. Sebagai seorang imam tanpa jenggot, berikut dengan seragam tentara Amerika. Para tahanan umumnya tidak percaya padanya. Para penjaga di Guantanamo pun tidak terlalu tertarik pada seorang pria yang melayani musuh Amerika. "Inilah bagian yang tersulit dari hidup saya. Padahal aku tidak memihak siapapun," kata dia.

Khallid akhirnya merangkul saudara-saudaranya melalui kepribadian dan kemampuannya dalam bermain basket. Ia pun berhasil menjalankan misinya sebagai duta bagi tentara, AS dan Islam. "Ketika mereka berinteraksi dengan saya, saya memiliki bola untuk dimainkan dengan orang-orang ini," pungkas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement