Senin 06 Feb 2012 12:46 WIB

Tradisi Sains dan Teknologi dalam Sejarah Islam (1)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Sains dan teknologi dalam Islam (ilustrasi).
Foto: inpropriapersona.com
Sains dan teknologi dalam Islam (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pada abad ke-6 hingga abad ke-14 M, peradaban Islam menghasilkan banyak karya ilmiah di bidang sains dan teknologi.

Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka, George Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang ini, Introduction to the History of Science.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Farabi, At-Tabhari, Al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayam. Jika seorang mengatakan kepada Anda bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan di atas. Mereka semua hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, dari 750 hingga 1100 M,'' tulis Sarton.

Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, disebutkan bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga landasan, yakni landasan agama, landasan filsafat dan landasan kelembagaan.

Landasan Agama

Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran sendiri merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam Surat An-Nisa' ayat 82, ''Maka apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.''

Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya dalam Surat Ar-Rum ayat 22, Al-Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190-191, Yunus ayat 5, dan Al-An'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun (mengapa tak kau pikirkan).

Perintah Alquran itu diperkukuh oleh hadits-hadits Nabi SAW yang mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu. ''Menuntut ilmu itu wajib bagi kaum muslimin laki-laki dan perempuan.'' (HR Bukhari dan Muslim) dan ''Tuntutlah ilmu semenjak dari ayunan sampai ke liang lahat.'' (HR Bukhari).

Kedudukan para ilmuwan dalam Islam dipandang utama, seperti dinyatakan Rasulullah SAW dalam hadits, ''Manusia yang mulia adalah seorang Mukmin yang berilmu.'' (HR Bukhari). Ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11, ''Allah tinggikan beberapa derajat kedudukan orang yang beriman dan berilmu.'' Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa, ''Manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah orang-orang yang berilmu dan berjuang.'' (HR Bukhari).

Landasan Filsafat

Perintah menuntut ilmu dalam Alquran dan hadits tersebut mendorong kaum Muslim pada abad-abad pertama Hijriyah untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Cina ke dalam bahasa Arab. Kemudian oleh para filsuf Muslim, ilmu-ilmu itu diklasifikasikan secara sistematis. Klasifikasi ini yang menjadi dasar bagi para ilmuwan Muslim untuk mengembangkan sains, teutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya, yaitu matematika dan logika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement