Jumat 27 Jan 2012 15:53 WIB

Urgensi Sertifikasi (Labelisasi) Halal (2-habis)

Halal (ilustrasi)
Foto: mui.or.id
Halal (ilustrasi)

Oleh: Joko Hermanianto*

Kelemahan Analisis Lab

Metode analisa di laboratorium disadari, secanggih apapun juga, masih mempunyai kelemahan dan kekurangan.

Pertama, alat dan teknik serta metode secanggih apa pun juga mempunyai batas ketelitian dalam pengukuran (LD= limit detection). Artinya, teknik metode atau alat tertentu hanya dapat mengukur sampai dengan ketelitian tertentu.

Sebagai contoh, elektroforesis yang canggih dapat mengidenfikasi adanya suatu campuran daging dengan batas ketelitian 1 persen. Namun, jika ada pencampuran/ kontaminasi daging babi, misalnya dengan konsentrasi dibawah 1 persen, maka tidak akan terdeteksi.

Kesimpulannya bahwa daging sapi tersebut murni dan tidak mengandung babi. Begitu juga alat-alat canggih lainnya seperti Elisa, GC-MS, dan lain-lain. Halal-haram adalah masalah ada dan tidak ada, bukan masalah terdeteksi dan tidak terdeteksi, atau masalah prosentase.

Beberapa hal pokok dalam syariat agama Islam dewasa ini belum dapat ditemukan metode untuk mengidentifikasinya secara tepat. Misalnya, bagaimana membedakan hewan sembelihan dengan bangkai? Atau daging dari sembelihan dengan bacaan basmallah dengan yang tidak dibacakan basmallah, daging dari hewan yang disembelih untuk sesajen berhala, misalnya Nyai Roro Kidul, dan lain-lain.

Demikian pula, kita belum bisa membedakan sembelihan orang kafir dengan orang beriman (mukmin). Hasil analisis terkadang tidak dapat menjelaskan asal-usul bahan derivat (turunan), seperti glisin, yang jika dianalisa tidak dapat dibedakan dari babi atau dari kedelai.

Proses Labelisasi (Sertifikasi) Halal

Untuk itu, diperlukan adanya proses labelisasi halal yang tepat. Adapun urutan prosesnya adalah sebagai berikut. Pertama, produsen mengajukan permohonan ke Badan POM (untuk label halal) atau ke LPOM MUI (untuk sertifikasi halal), dengan mengisi formulir dan form yang disediakan serta melengkapi persyaratan antara lain: dokumen spesifikasi bahan, proses pembuatan bahan, daftar bahan yang digunakan, formula produk, proses pembuatan produk, SK internal auditor perusahaan, dan SJH (sistem jaminan halal yang mencakup manual, standar prosedur operasi, petunjuk kerja dan instruksi kerja halal).

Kedua, audit dokumen oleh BADAN POM/LPPOM-MUI. Ketiga, tim Badan POM dan atau LPPOM-MUI melakukan audit lapangan (ke pabrik). Audit lapangan ditekankan pada enam hal, yaitu dokumen pembelian tiga bulan terakhir, gudang (bahan baku, bahan tambahan, produk akhir), formula, proses produksi-pemasaran dan lingkungan pabrik, serta implementasi SJH. Keempat, hasil audit dilaporkan rapat pleno anggota tim teknis auditor LP-POM MUI.

Kelima, jika memenuhi persyaratan, maka hasilnya dibawa ke Komisi Fatwa MUI. Keenam, fatwa sertifikat halal resmi dikeluarkan dan memiliki masa berlaku selama dua tahun. Ketujuh, berdasarkan sertifikat halal dari MUI tersebut, maka produsen dapat mencantumkan label halal dengan mengurusnya ke Badan POM.

Penetapan halal dengan analisa laboratorium masih banyak mengalami kendala dan kekurangan. Oleh sebab itu, penetapan halal melalui pengkajian perunutan bahan dan proses halal (telusur) masih menjadi suatu keharusan, yaitu penelusuran secara menyeluruh dari berbagai aspek dari A sampai Z (sejak dari pembelian bahan baku sampai cara penyajian di konsumen). Disamping itu juga diperlukan komitmen perusahaan untuk menjaga kehalalan produknya dengan menjalankan sistem jaminan halal dengan disiplin dan konsisten. Wallahua’lam.

* Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan, serta Peneliti Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement