REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJAB) Indonesia menyesalkan pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali yang menyebut penganut Syiah itu sesat, pada Rabu (25/1).
Ketua Dewan Syura IJAB Indonesia, KH Jalaluddin Rakhmat, mengatakan, pernyataan tersebut dikeluarkan ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia?(NKRI) terancam karena ulah sekelompok orang yang mengatasnamakan perbedaan paham dalam agama untuk menyalakan permusuhan di antara kelompok umat beragama.
Pejabat yang seharusnya melindungi semua kelompok agama, imbuh Kiai Jalaluddin, telah menaburkan bensin di atas bara yang mulai menyala. Menurutnya, Menteri Agama merujuk kepada Surat Edaran Menteri Agama Nomor D/BA.014865/1983 pada zaman Orde Baru, padahal surat Edaran itu telah batal demi hukum, karena bertentangan dengan Konstitusi RI , UUD 1945, Bab XI, Pasal 29.
Untuk itu, papar dia, aturan tersebut dapat digugat secara hukum melalui mekanisme peraturan yang berlaku. Acuan Menteri Agama terhadap rekomendasi Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1984, juga tidak menyatakan Syiah sesat atau bukan Islam. "Rujukan ini hanya menganjurkan umat Islam Indonesia untuk waspada," kata Djalaluddin dalam siaran pers kepada Republika.?
Pada 1 Januari 2012, lanjutnya, Ketua MUI, KH Umar Shihab, menyatakan MUI berprinsip bahwa Syiah tidak sesat. Kiai Umar mengimbau umat Islam agar tidak terpecah belah dan menjaga ukhuwah Islamiah serta tidak melakukan tindak kekerasan terhadap golongan berbeda. Karena itu, pihaknya menyesalkan Menteri Agama yang mengacu kepada rekomendasi rakernas yang sudah kedaluwarsa dan mengabaikan pernyataan MUI yang mutakhir.
Pada saat yang sama, kata Kiai Djalaluddin, Menteri Agama juga mengabaikan pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj, pada 4 Januari 2012, yang menegaskan Syiah masih bagian dari ajaran Islam, bagian dari Al Firaq Al Islamiyyah. Sehingga, tutur dia, NU saja tidak gampang memberikan stigma sesat pada suatu aliran yang juga mengacu pada dasar pendirian NU oleh KH Hasyim Asyari, yaitu ukhuwahIslamiyah, Wathaniyyah dan Insaniyyah.
"(Penilaian) Ini juga sesuai dengan sikap NU yang setia mengawal UUD 1945, tepatnya pasal dua puluh sembilan," terangnya.
Menurut Djalaluddin, pada 3-4 April 2007, Presiden, Pemerintah dan Rakyat Republik Indonesia, PBNU, dan PP Muhammadiyah menyelenggarakan Konferensi Internasional Pemimpin Islam untuk Rekonsiliasi Irak dan melahirkan Deklarasi Bogor. Walaupun konferensi itu dimaksudkan secara khusus sebagai kontribusi rakyat Indonesia bagi rekonsiliasi Sunnah-Syiah di Irak, paparnya, deklarasi Bogor juga menyampaikan secara umum pesan-pesan perdamaian bagi Sunni-Syiah di seluruh dunia.
Salah satunya upaya untuk meningkatkan saling menghormati keyakinan dan kepercayaan satu sama lain, menjadi arti penting penyelesaian konflik secara damai, dialog intra dan antariman, peran pemimpin agama dalam membangun perdamaian.
Karena itu, pihaknya meminta dengan hormat kepada Menteri Agama untuk memfasilitasi dialog di antara Sunni dan Syiah untuk membangun suasana saling memahami, bukan saling menghakimi, saling menghormati bukan saling memaki. Dengan demikian, Menag akan meninggalkan kenangan indah (lisaana shidqin) bagi kaum Muslim khususnya dan umat beragama pada umumnya. n c13