REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya
Hukum pidana Islam bertujuan untuk melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan dan pelanggaran.
‘’Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.." (QS Al-Maidah [5]: 3). Lewat ayat itu, Allah SWT menegaskan bahwa Islam adalah agama sempura yang mengatur berbagai sendi kehidupan umat manusia, tak ada sedikit pun yang luput.
Guna melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan dan pelanggaran, sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan tertib, ajaran Islam memiliki hukum pidana Islam atau Ahkam al-Jina’iyah.
Al-Jinayah berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal. Jinayah didefinisikan sebagai perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda.
Hukum pidana Islam terbagi dalam beberapa bagian. Ada berdasarkan berat ringannya hukuman. Dalam jenis ini, hukum pidana Islam mengenal tiga macam golongan kesalahan. Ada pula yang berdasarkan niat pelaku, yakni tindak pidana disengaja (doleus delicten) dan tidak disengaja (culpose delicten). Selain itu ada pula berdasarkan waktu terungkapnya, cara melakukannya, serta berdasarkan karakter khusus.
Sebagian kalangan menuding bahwa hukum pidana Islam oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai hukum yang tidak manusiawi, kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Hukum pidana Islam yang memberlakukan rajam (melempar orang yang berzina hingga wafat) serta potong tangan bagi pencuri dan koruptor sangat kejam dan melanggar hak azasi manusia (HAM).
KH Anwar Hidayat, hakim pada sebuah Pengadilan Agama di Jakarta, sempat menegaskan, hukum Islam sangat elastis dan tidak kaku. Justru dijatuhkannya sanksi berupa potong tangan bagi yang mencuri, dimaksudkan untuk menimbulkan rasa aman, rasa tenang dan memberi efek pencegahan, sehingga orang akan takut untuk mencuri.
”Penegasan Alquran yang mengatakan orang yang mencuri harus dipotong tangannya, itu menunjukkan untuk memberi ketenangan dan keamanan bagi umat. Itu pun tentu tidak asal menjatuhkan sanksi, tapi harus melalui proses yang diajukan ke pengadilan dengan berbagai bukti serta menghadirkan dua orang saksi laki-laki,” paparnya Kiai Anwar.
Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, KH Ahmad Mukri Ajie, menuturkan, Rasulullah SAW dalam proses peradilan pidana sangat sedikit sekali mengeksekusi hukum potong tangan. Termasuk hukum rajam bagi pezina.
Menurut Kiai Mukri, ketika datang seseorang mengaku berbuat zina, Rasulullah tak serta merta langsung merajam orang tersebut, tapi terlebih dulu diadili dan diproses cukup lama. Hal itu dicontohkan saat Maiz bin Malik menemui Rasulullah SAW seraya mengaku kalau dirinya telah berbuat zina.
Kasus zina yang kelihatan hukumannya menyeramkan ternyata dalam dataran eksekusi di lapangan tidaklah mudah. ”Begitu sangat hati-hatinya, sehingga nanti ada pihak penuduh di sana, orang yang menyatakan si A berzina tapi dia tidak bisa menghadirkan empat saksi mata bukan lewat video, bukan lewat foto, nggak bisa itu,” papar Kiai Mukri. Keempat saksi mata itu disumpah.