REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Gerakan Salafiyah bertujuan untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran Alquran dan hadis.
Setelah Baghdad -- pusat peradaban Islam – dihancurleburkan bangsa Mongol pada 1258 M, dunia Islam mengalami kemunduran. Kaum Muslim mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kezaliman merajarela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bias berijtihad secara murni lagi.
‘’Umat Islam berada di era Taklid,’’ tulis Ensiklopedi Islam. Masa Taklid disebut para sejarawan dan pemikir Islam sebagai masa kemunduran. Pada pertengahan abad ke-13 M itu, masyarakat Muslim banyak yang menjadi penyembah kuburan, nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat. Mereka berharap berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali).
Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Masyarakat Islam pada waktu itu terjebak pada perbuatan syirik dan bidah dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhayul. Kondisi itu melahirkan sebuah gerakan yang dikenal dengan istilah Salafiyah.
Salafiyah adalah gerakan yang berupaya untuk menghidupkan kembali ajaran kaum Salaf. Tujuannya, agar umat Islam kembali kepada ajaran Alquran dan hadis serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tak berdasar dan segala bidah yang terselip di dalamnya. Gerakan ini dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah, ulama yang hidup di abad ke-13 dan 14 M.
Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam. Ketiga generasi kaum Muslimin itu biasa disebut sebagai kaum Salaf.
Secara bahasa, Salafiyah berasal dari kata salafa, yaslufu, dan salafan. Padanan katanya, menurut Ensiklopedi Islam, taqaddama dan mada’ yang artinya ‘’berlalu’’, ‘’sudah lewat’’ atau ‘’terdahulu. Sehingga, As-Salaf bias diartikan orang yang terdahulu, berlalu, dan sudah lewat dalam tindakannya. Dalam Islam dikenal istilah as-salaf as-salih (orang saleh yang terdahulu atau yanag sudah lewat), yakni tiga generasi awal Islam.
Kaum Salaf memiliki beberapa sifat. Pertama, tak mencari pertentangan dan pertengkaran yang berkaitan dengan qada dan qadar. Kedua, menghindarkan diri dari perdebatan yang tak berujung, seperti masalah akidah. Ketiga, setia kepada Rasulullah SAW. Keempat warak dan zahid. Kelima, benci terhadap bidah.
Gerakan Salafiyah juga dikenal sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan). Ada pula yang menyebutnya, gerakan Islah (perbaikan) dan gerakan Reformasi. Tak heran, jika Ibnu Taimiyah ditabalkan sebagai Bapak Tajdid, Bapak Islah, Bapak Reformasi, serta bapak Pembaharuan dalam Islam.
Sejatinya, tajdid merupakan watak dari ajaran Islam. Selain memelihara ajaran Islam yang utuh, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, tajdid juga memecahkan problema baru yang selalu muncul dalam masyarakat Islam. Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah antara lain: pintu ijitihad selalu terbuka sepanjang masa; taklid atau ikut-ikutan tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; serta diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa.
Gerakan Salafiyah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Sejumlah tokoh Muslim yang melanjutkan penyebaran gerakan itu, antara lain; Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Rida, Sir Ahmad Khan, dan yang lainnya. Menurut Ensiklopedi Islam, sejumlah ormas Islam di Indonesia, seperti Al-Irsyad, Muhammadiyah, Persis, dan Persatuan Umat Islam dilandasi dengan gerakan Salaf.