REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Salafiyah modern merupakan gerakan reformasi berdimensi agama, budaya, sosial, dan politik yang didirikan Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 M
Memasuki abad ke-19 M, dunia Islam benar-benar terpuruk. Hampir seluruh dunia Muslim berada dalam cengkraman penjajahan. Umat Islam benar-benar terjebak pada taklid buta dan mengalami kejumudan dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, politik, dan budaya.
Di tengah kondisi dunia Islam yang benar-benar terbelakang itu, Jamaludin Al-Aghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) menghidupkan dan mendirikan Salafiyah modern. Menurut John L Esposito, Salafiyah modern berbeda dengan di era klasik.
‘’Salafiyah modern intinya bersifat intelektual dan modernis serta tujuannya lebih beragam,’’ papar Esposito. Yang jelas, Jamaludin Al-Afghani lewat gerakan Salafiyah yang didirikannya mencoba untuk mengembalikan Islam pada bentuk murninya, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam.
Esposito mendefiniskan Salafiyah sebagai gerakan reformasi berdimensi agama, budaya, sosial, dan politik yang didirikan Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 M. ‘’Gerakan ini bertujuan memperbarui kehidupan Muslim dan berdampak formatif pada banyak pemikir dan gerakan Muslim di seluruh Dunia Muslim,’’ ujar guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.
Kedua tokoh gerakan salafiyah itu mencoba untuk menjembatani jurang antara Islam historis dan modernitas. Lewat cara itulah, Al-Afghani dan Abduh melawan stagnasi, kehancuran moral, depotisme politik, dan dominasi asing. Pada masa itu, supremasi Barat yang sangat besar, sehingga dunia Islam cenderung termarjinalkan.
Lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di jurnal al-Urwah Al-Wustha, yang diterbitkan Afghani pada dan Abduh pada 1884, kedua tokoh reformis Islam itu berupaya menyadarkan umat Islam yang sedang terpuruk. Menurut mereka, keterpurukan peradaban Islam tak terletak pada ajarannya.
Peradaban Islam justru terpuruk lantaran inflistasi konsep dan praktik asing, disitegrasi umat Islam, dan praktik despotisme politik (pemerintahan dengan kekuasaan politik absolut). Dalam pandangan mereka, distrorsi keyakinan Islam yang paling dasar telah membuat umat Islam bersikap pasrah, pasif, dan tunduk pada kekuatan Barat.
Akibatnya, umat Islam mengalami stagnasi dan dilanda peniruan buta olah para ulama tradisionalis. Masalah yang akut itu, dipandang Afghani dan Abduh, sebagai penghambat kemajuan Islam. Tak hanya itu. Penyakit sosial dan moral itu juga menjadi penjegal bagi dunia Islam untuk mengejar dan meraih kemerdekaan.
Agar dunia Islam tak tunduk kepada Barat, Afghani mencoba menegaskan validitas Islam pada masa modern dan membuktikan kesesuaiannya dengan akal dan ilmu pengetahuan. ‘’Bagi Afghani dan Abduh, Islam memberi fondasi kemajuan kepada kaum Muslim,’’ tutur Esposito.
Keduanya membuka mata umat Islam bahwa Islam memuliakan dan menegaskan kedaulatan manusia di bumi. Islam juga memberati kaum Muslim dengan tauhid, dan juga mendukung pencarian pengetahun dan kemajuan. Langkah yang dilakukan tokoh-tokoh pengusung gerakan Salafiyah modern adalah mengembalikamn kebanggaan Muslim akan agama meraka.
Selain itu, memuluskan jalan untuk reinterpretasi islam sesuai dengan modernitas dan melegitimasi pengambilan sebagai prestasi ilmiah dan tekonologi Barat. Menurut Esposito, reinterpretasi Islam yang digulirkan Afghani dan Abduh itu telah membentuk prinsip besar kedua dari Salafiyah modern.
Seperti para pemikir Salafiyah klasik, pendukung Salafiyah modern juga tetap menekankan arti penting tauhid, pemurnian keyaknian dan praktik Muslim dari penambahan, serta pemulihan bentuk Islam yang murni.
Abduh merangkum tujuan Salafiyah sebagai berikut: ‘’Membebaskan pemikiran dari belenggu taklid, dan memahami agama sebagaimana dipahami para leluhur sebelum munculnya perpecahan; berpaling kembali, dalam memperoleh pengetahuan agama ke sumber pertamanya, dan menimbangnya dalam neraca akal manusia.
Para reformator modern, kata Esposito, juga meyakini bahwa Alquran adalah firman Allah yang tidak tercipta, dan menolak penafsiran esoterik dari ayat-ayatnya. Meski berusaha kembali kepada Alquran, sunah dan hadis sahih, Salafiyah modern berupaya membuat sintesis antara teks dengan akal.
‘’Mereka menganggap wahyu dan akal sepenuhnya harmonis,’’ ujar Esposito. Jika tampak ada kontradiksi, mereka menggunakan akal untuk menafsir ulang teksnya. Dalam menafsirkan Alquran, Salafiyah modern mencoba mengaitkannya dengan kondisi masa kini.
Pendekatan itu dipandang turut membangkitkan pesan Alquran, memulihkan relevansinya, dan membuatnya menjadi lebih mudah dipahami masyarakat Muslim awam. Dengan menekankan kembali kepada sumber fundamental islam, para pemikir salafiyah mencoba untuk membuka kembali potensi ijtihad.
Fondasi ketiga Salafiyah modern adalah reformasi yang bersifat komprehensif dan berangsur-angsur. Pendidikan menjadi batu tolak bagi rencana reformasi yang digulirkan pengusung Salafiyah modern. Caranya, dengan memadukan pendidikan Islam dan modern. Dengan cara itulah diharapkan umat Islam bisa bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari dunia Barat