Jumat 20 Jan 2012 14:00 WIB

Perkembangan Baitul Mal pada Masa Rasulullah dan Sahabat (2)

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Chairul Akhmad
Baitul Mal (ilustrasi).
Foto: onlineinvestingai.com
Baitul Mal (ilustrasi).

Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)

Keadaan seperti diuraikan di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW hingga tahun pertama kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq (11 H/632). Zallum menjelaskan, jika datang kepadanya harta dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islam yang dipimpinnya kala itu, Abu Bakar segera membawanya ke Masjid Nabawi dan membagikannya kepada orang-orang yang berhak. Dalam urusan itu, ia dibantu Abu Ubaidah bin Jarrah.

Pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Bukan lagi sekadar pihak pengelola harta umat, Baitul Mal juga berarti tempat penyimpanan harta negara. Sang khalifah menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal itu berlangsung hingga ia wafat pada 13 H/634 M.

Masa Khalifah Umar bin Khathab (13-23 H/634-644 M)

Setelah Abu Bakar wafat, seperti dikisahkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam (Abdul Aziz Dahlan, 1999), Umar bin Khathab yang meneruskan kepemimpinan khilafah mengumpulkan para bendaharawan untuk membuka Baitul Mal yang terdapat di dalam rumah Abu Bakar. Di sana Umar hanya menemukan satu dinar yang terjatuh dari kantung penyimpanan harta negara.

Lalu ketika penaklukan-penaklukan (futuhat) terhadap berbagai negeri semakin banyak terjadi pada masa Umar, termasuk penaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke Kota Madinah. Karenanya, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta. Ia juga membentuk sejumlah diwan (kantor)-nya, mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang.

Selama memerintah, Umar memelihara Baitul Mal secara hati-hati. Terkadang, selain menyimpannya di Baitul Mal, Umar menyisihkan seperlima dari harta rampasan perang untuk dibagikan secara langsung pada kaum Muslimin. Mengenai banyaknya. Ia hanya menerima pemasukan sesuai syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.

Kejujuran Umar dalam mengelola Baitul Mal dijelaskan dalam salah satu pidatonya yang dicatat penulis sejarah dan ahli tafsir bernama lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), tentang hak seorang khalifah dalam Baitul Mal.

Sang Khalifah berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seorang di antara orang-orang Quraisy biasa. Dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum Muslimin." (Dahlan, 1999).

Umar adalah khalifah Islam kedua yang membangun pondasi sistem ekonomi Islam. Umar mengambil sunah Rasul dan prinsip Qurani dan mempersatukan keduanya ke dalam sebuah program ekonomi yang berhasil. Pada masa kepemimpinan Umar, kesetaraan dapat dirasakan oleh setiap orang, termasuk dirinya sendiri. Sang Khalifah memilih kehidupan sederhana yang tidak membedakannya dari masyarakat umum. Di saat yang sama, ia memperjuangkan keadilan, termasuk di bidang ekonomi melalui pengelolaan Baitul Mal.

Di masa kekhalifahan Umar, ketika seseorang terluka atau kehilangan kemampuannya sehingga tidak dapat bekerja, maka negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasarnya. Khilafah Umar juga memberikan 'keamanan sosial' bagi orang lanjut usia. Mereka yang telah berhenti bekerja bisa tetap memperoleh upah tetap dari kas publik.

Bahkan, bayi-bayi yang dicampakkan orang tua mereka dipelihara negara, dan menghabiskan 100 dirham uang negara setiap tahunnya. Saat kekhalifahan dilanda kekeringan hebat pada 18 H, Umar memberlakukan kupon makanan bagi masyarakat yang dapat ditukar dengan gandum dan tepung.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement