REPUBLIKA.CO.ID, Baitul Mal berasal dari dua kata bahasa Arab, yakni bayt sebagai mudhaf (kata benda yang disandarkan) dan al-mal sebagai mudhaf ilaihi (kata benda yang menjadi sandaran). Bayt berarti "rumah," sedangkan al-mal berarti “harta,” sehingga baitul mal berarti “rumah harta” secara bahasa.
Menurut Ahmad Ifham Sholihin dalam Buku Pintar Ekonomi Syariah (2010), secara istilah baitul mal berarti suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Pengertian itu didasarkan pada uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah.
Selain itu, Ifham Sholihin juga memberikan dua pengertian lain. Pengertian pertama mengartikannya sebagai lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, kharaj (cukai atas tanah pertanian), jizyah (pajak yang dibebankan pada penduduk non-Muslim yang tinggal di negara Islam), ghanimah (rampasan perang), kaffarat (denda), wakaf, dan lain-lain yang di-tasyarufkan untuk kepentingan umat.
Pengertian kedua menyebutkan bahwa Baitul Mal berarti rumah harta, yang pada zaman Nabi berfungsi sebagai perbendaharaan negara. Dulunya, Baitul Mal adalah departemen yang berurusan dengan pendapatan dan segala hal keekonomian negara.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada Baitul Mal atau harta publik yang bersifat permanen, karena semua pendapatan yang diperoleh negara didistribusikan secara langsung. Tidak ada penggajian, tidak ada pengeluaran negara, dan Baitul Mal dalam tataran publik belum dirasa perlu.
Pun pada masa kekhalifahan Abu Bakar, pelembagaan Baitul Mal masih belum dirasa perlu. Sang khalifah menjadikan rumahnya sendiri untuk menyimpan uang atau harta kas negara, yang disimpannya dalam karung atau kantung. Namun, karena pendistribusian harta dilakukan secara langsung seperti pada masa Rasulullah, karung tersebut lebih sering kosong.
Dari situlah konsep awal Baitul Mal terbangun, yang menitikberatkan prinsip kesetaraan dan keadilan, serta kemaslahatan umat. Baitul Mal baru berwujud fisik (tempat) pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab.
Dalam istilah modern, dikenal istilah Baitul Mal wa Tamwil yang disingkat BMT. Ifham Sholihin mendefinisikannya sebagai lembaga keuangan non-pemerintah yang berfungsi menerima dan menyalurkan dana umat.
Dari situ muncul satu perbedaan mendasar mengenai konsep penerapan Baitul Mal, yakni keterlibatan negara dalam pengelolaannya. Pada masa khilafah, Baitul Mal merupakan sebuah lembaga pemerintah yang mengelola keuangan negara.
Sementara pada zaman modern, ia merupakan lembaga swasta yang tidak saja berfungsi sebagai penerima dan penyalur harta (mal) bagi yang berhak. Ia juga mengupayakan pengembangan dari harta itu sendiri (tamwil), yang dilandaskan atas prinsip-prinsip ekonomi Islam.