REPUBLIKA.CO.ID, Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum sungai Eufrat menyingkap gunung emas, sehingga manusia saling membunuh (berperang) untuk mendapatkannya. Lalu terbunuhlah dari setiap seratus orang sebanyak sembilan puluh sembilan dan setiap orang dari mereka berkata: ‘Semoga akulah orang yang selamat’.’’ (HR Muslim).
Pertempuran paling besar akan berkecamuk di Suriah, dekat kota Damaskus, yakni disuatu tempat yang bernama A’maq dan Dabiq. “Kiamat takkan terjadi sehingga bangsa Romawi singgah di Al-A’maq atau di Dabiq. Lalu mereka diserbu oleh balatentara dari Madinah, yang merupakan penduduk dunia yang terbaik waktu itu’’. (Muslim bin Hajjaj dari Abu Hurairah RA)
Dalam hadis yang menerangkan tanda-tanda akhir zaman di atas disebut kata ‘Dabiq’. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi, Dabiq adalah padang rumput dekat kota Aleppo, Suriah. ‘’Dulu (Dabiq) dihuni Bani Marwan bin al-Hakim setelah memerangi kaum ash-Sha’ifah sampai teluk al-Mushaisah,’’ ujar Dr Sayuqi.
Di Dabiq, menurut Dr Syauqi, terdapat makam Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, khalifah Dinasti Umayyah yang berkuasa pada 715 M hingga 717 M. Selain dikaitkan dengan peristiwa yang akan menjadi tanda-tanda akhir zaman, Dabiq juga merupakan tempat bersejarah. Di wilayah itulah, pada 1516 pasukan dari Dinasti Turki Usmani berperang melawan pasukan Dinasti Mamluk.
Pertempuran antara dua kerjaaan Islam yang besar pada abad ke-16 itu bernama ‘’Perang Marj Dabiq’’. Inilah pertempuran militer yang paling menentukan dalam sejarah Timur Tengah antara Kekhalifahan Turki Usmani alias Ottoman dan Kesultanan Mamluk.
Pertempuran ini terjadi pada 24 Agustus 1515 di Dabiq, 44 km di utara Aleppo (Halab), Suriah. Marj Dabiq berarti ‘padang rumput Dabiq‘. Sultan Mamluk pada saat itu, Al-Ashraf Wansuh al-Ghawri, menghabiskan musim dingin tahun 1515 hingga musim semi tahun 1516 demi mempersiapkan pasukannya untuk merebut wilayah perbatasan Asia Minor.
Ketika ia sedang mempersiapkan pasukannya, seorang duta yang diperintahkan oleh Sultan Salim I dari Turki Usmani tiba di Mesir. Duta yang dikirim Kesultanan Ottoman itu menyatakan bahwa kerajaan yang berpusat di Turki itu masih bersahabat dengan Kesultanan Mamluk. Sang duta besar juga meminta agar perbatasan untuk perjalanan barang dagangan dan para budak tetap dibuka.
Pada musim panas 1516, Al-Ashraf bergerak dari Kairo dengan kekuatan yang besar, sekitar 20 ribu ksatria dan artileri. Dengan kekuatan penuh itulah pasukan yang dipimpin Al-Ashraf melakukan perjalanan menuju Suriah. Pemimpin negeri tersebut, Khalifah Al-Mutawakkil III, para syikh, anggota istana, muazin, dokter dan pemusik, mengikuti di atas keretanya.
Dalam perjalanan itu, Al-Ashraf juga bertemu dengan anak penerus tahta Turki Usmani yang juga keponakan Sultan Salim I, Ahmad. Al-Ashraf mengajaknya untuk turut serta dalam rombongan itu. Meski kedua kerajaan Islam itu bersitegang, penguasa Mamluk tetap memperlakukan Ahmad dengan sopan dengan harapan dapat mengambil simpati dari kekuatan Turki Usmani.
Rombongan Al-Ashraf pun akhirnya memasuki Damaskus pada bulan Juni. Ia disambut dengan meriah dengan karpet di bawah kakinya dan para pedagang Eropa yang mengelu-elukannya di antara orang ramai. Setelah menginap beberapa hari di Damaskus, ia kemudian berangkat kembali ke Homs dan Hama, lalu menuju Halab (Aleppo).
Sementara itu, duta besar lain dari Turki Usmani juga datang membawa hadiah-hadiah mahal untuk Sultan dan juga Khalifah Al-Mutawakkil III dan wakilnya. Ia juga membawa permintaan Raja Salim I, yaitu persediaan gula Mesir. Utusan yang ternyata sedang itu menyampaikan berita bahwa Turki Usmani akan melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Safawi.