REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah kabar tak sedap terdengar Rasulullah SAW. Kabar buruk itu datang dari Bani Qudha’ah yang menetap di sebuah daerah bernama Dzatus Salasil. Penduduk yang tinggal di wilayah itu bersekutu dengan pasukan Romawi alias Bizantium untuk menyerang umat Islam yang berbasis di kota Madinah.
Mendengar ancaman itu, Nabi SAW segera memanggil Amru bin Ash. Sebagai seorang tentara Muslim, Amru segera mengencangkan pakaian dan senjatanya. Ia seakan sudah mengetahui bahwa Rasulullah akan menugaskannya ke medan pertempuran. Amru pun menghadap Nabi Muhammad yang sedang berwudlu.
‘’Hai Amru, sungguh aku ingin mengirimmu ke satu tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah. Aku pun harapkan untukmu harta itu, harapan yang baik,’’ kata Rasulullah SAW.
‘’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku masuk Islam bukan karena menginginkan harta, tapi ingin berjihad dan tetap bersamamu,’’ ungkap Amru.
Rasulullah SAW lalu membelitkan bendera putih di kepala Amru dan menyerahkan bendera hitam kepadanya. Nabi lalu melepas Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar. Menurut Abu Muhammad Harist, sebanyak 30 orang di antara tentara Islam itu adalah pasukan berkuda. Rasulullah menyarankan agar mereka meminta tolong kepada suku Bali, Udhra, dan Balqain.
Amru bin Ash beserta pasukannya melangkah ke medan Perang Dzatus Salasil. Pertempuran itu terjadi pada Jumadil Akhir tahun ke-8 Hijriah. ‘’Beberapa hari setelah kembalinya pasukan Muslimin dari Perang Mu’tah ke Madinah,’’ ujar Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah.
Bukan tanpa alasan Rasulullah menugaskan Amru untuk memimpin pasukan. Padahal, kala itu, ada Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab yang lebih senior dan mumpuni. Ternyata, Amru adalah seorang tentara Muslim yang nenek moyangnya berasal dari daerah itu.
‘’Hal itu menunjukkan bolehnya mengangkat pimpinan yang kurang keutamaannya dari yang lebih utama, jika yang kurang keutamaannya itu memiliki sifat-sifat istimewa yang berkaitan dengan tugas itu,’’ tutur Dr Akram.
Pasukan tentara Muslim pun berjalan menuju medan perang dengan berjalan kaki pada malam hari. Mereka beristirahat sambil mengintai musuh pada siang hari. Amru sengaja menerapkan taktik itu agar stamina pasukannya tetap kuat. Selain itu, pergerakan mereka pada malam hari tak diketahui musuh.
Saat mendekati wilayah musuh, Amru mendapat laporan bahwa kekuatan pasukan lawan begitu besar. Ia pun mengambil langkah cepat dengan memohon penambahan pasukan kepada Rasulullah. Nabi SAW segera mengirim 200 orang tentara, termasuk di dalamnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
‘’Pasukan bantuan itu dipimpin Abu Ubaidah Amin bin al Jarrah,’’ ungkap Dr Akram. Menurut Amir Asy-Sya’bi (wafat 103 H), Abu Ubaidah ditempatkan sebagai penanggung jawab rombongan Muhajirin, sedangkan Amru menjadi pimpinan kaum Badui. Kedua pasukan yang dikirimkan dari Madinah pun bertemu.
Sempat terjadi perselisihan ketika Abu Ubaidah hendak maju memimpin pasukan. Namun Amru menolak kepemimpinan Abu Ubaidah. ‘’Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin,” tutur sebagian pasukan.
Amru berkata, ‘’Kalian adalah bala bantuan yang saya minta.”
‘’Tahukah engkau wahai Amru, yang ditetapkan Rasulullah terakhir adalah, ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling menurut (kerja sama).’ Dan apabila engkau tidak menaatiku, maka aku tetap akan menaatimu,’’ kata Abu Ubaidah. Tongkat komando pun sepenuhnya berada di tangan Amru. Abu Ubaidah sadar bahwa pasukan tentara Muslim tak akan kuat jika di dalamnya terjadi perpecahan.