REPUBLIKA.CO.ID, Al-Muntashir memiliki wajah manis, mata indah, hidung mancung, dan tinggi semampai. Dia sangat kharismatik, cerdas, dan gemar melakukan kebaikan-kebaikan serta tidak suka berbuat zalim. Ia memperlakukan keturunan Ali bin Abi Thalib dengan baik, membolehkan kembali ke Makam Husain bin Ali bin Abi Thalib yang pernah dilarang oleh pendahulunya, Khalifah Al-Mutawakkil.
Al-Muntashir Billah (861-862 M) bernama asli Muhammad dan sering dipanggil Abu Ja'far atau Abu Abdillah. Ia adalah anak Al-Mutawakkil bin Ar-Rasyid, ibunya seorang wanita mantan budak berasal dari Romawi bernama Habasyiyah.
Ia dilantik menjadi khalifah kesebelas Bani Abbasiyah pada Syawwal 247 H. Dia memberhentikan dua saudaranya; Al-Mu'taz dan Al-Mu'ayyad dari posisi sebagai putra mahkota setelah ditetapkan sebelumnya oleh Al-Mutawakkil. Pemecatan ini dilakukan atas desakan Wazir Washif dan Panglima Begha yang berasal dari Turki.
Ketika akan memecat keduanya dari bursa calon khalifah, dengan terang-terangan Al-Muntashir mengatakan kepada kedua saudaranya itu bahwa dia dipaksa oleh Wazir Washif dan Panglima Begha.
Di hadapan rakyatnya, Al-Muntashir menunjukkan sikap baik, dermawan, adil, jujur dan penyabar, sehingga ia disenangi rakyat. Kata-kata hikmah yang pernah ia lontarkan antara lain, "Kelezatan pengampunan itu jauh di atas kelezatan membuat kesulitan-kesulitan. Dan sejelek-jelek perbuatan orang yang mampu dan kuasa adalah membalas dendam."
Khalifah Al-Muntashir bekerjasama dengan orang-orang Turki untuk merebut kekuasaan dengan cara membunuh ayahnya, Al-Mutawakkil, karena pencopotan dirinya dari putra mahkota. Namun saat kekuasaan telah diraih, Al-Muntashir justru mulai menjelek-jelekkan orang Turki sehingga mereka berencana membunuh Al-Muntashir.
Upaya pembunuhan yang dilakukan orang-orang Turki terhadap Al-Muntashir adalah dengan cara memperalat seorang dokter istana yang bernama Ibnu Thayfur dengan imbalan uang sebanyak 30.000 dinar. Dokter tersebut melakukan aksinya saat mengoperasi Khalifah Al-Muntashir dengan menggunakan pisau beracun. Ada juga yang menyebutkan bahwa kematian Al-Muntashir karena dicekik. Riwayat lain menyatakan bahwa Al-Muntashir meninggal karena memakan buah beracun.
Tak banyak yang bisa dilakukan Khalifah Al-Muntashir. Dia hanya memerintah selama kurang lebih enam bulan, sampai akhirnya dibunuh oleh orang-orang Turki yang dulu membantunya membunuh ayah sendiri.
Al-Muntashir meninggal pada 5 Rabiul Awwal 248 H, saat berumur kurang lebih 26 tahun. Saat kematian menjelang, ia berkata, "Wahai ibuku, telah lenyaplah dunia dan akhirat dari diriku. Kubunuh ayahku, maka aku pun kini dibunuh."
Kematian Al-Muntashir tak jauh beda dengan kematian Kaisar Persia yang bernama Syairawaih. Dia membunuh ayahnya lalu berkuasa hanya sekitar enam bulan. Al-Muntashir membunuh ayahnya dan memerintah hanya sekitar enam bulan pula, kemudian dibunuh.
Ada kisah menarik terkait hal ini. Suatu ketika, Khalifah Al-Muntashir meminta pembantunya mengeluarkan permadani dari dalam gudang ayahnya untuk dibentangkan. Ketika salah satu permadani itu dibentangkan, ternyata ada bungkusan di dalamnya dengan gambar seorang laki-laki Persia dengan kepala bermahkota. Di sekitarnya terdapat tulisan bahasa Persia.
Khalifah Al-Muntashir meminta tulisan itu dibaca dan diterjemahkan. Ketika melihat tulisan itu, seorang penerjemah mengernyitkan dahinya. Semula ia tak mau membacakan, tetapi karena dipaksa khalifah, akhirnya ia membacanya. Tulisan itu berbunyi, "Saya adalah Syairawaih anak Kisra Hurmuz. Saya telah membunuh ayah saya dan saya tidak menikmati kekuasaan kecuali enam bulan saja."
Mendengar hal itu, wajah Khalifah Al-Muntashir langsung berubah merah. Ia pun langsung memerintahkan untuk membakar permadani itu. Dan sejarah pun mencatat, Khalifah Al-Muntashir yang pernah membunuh ayahnya pun tewas. Usia pemerintahannya hanya enam bulan!