Rabu 05 Sep 2018 15:15 WIB

Ketika Membaca Alquran, Musa Yakin Menjadi Muslim

Islam hanya mengenal satu Tuhan dan tidak ada kompromi atas hal tersebut.

Alquran
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sejak kecil, Musa Cerantonio percaya akan keberadaan Tuhan. Musa percaya, manusia adalah makhluk yang lemah, yang selalu membutuhkan bantuan dalam hidupnya.

Laki-laki asal Australia ini lahir dari ayah berdarah Italia dan ibu asal Irlandia. Sejak kecil, orang tua telah menuntunnya menjadi seorang Katolik.

Awalnya, dia bangga pada agamanya dan percaya bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. “Bagaimana tidak, saat itu jumlah umat Katolik paling banyak di dunia. Jumlah yang banyak ter sebut tentu menumbuhkan keyakinan bahwa agama tersebut mengandung kebenaran,” ujarnya.

Meski bangga pada agama yang dianutnya, tetapi Musa dan keluarganya tidak benar-benar mempraktikkan ajaran Katolik. “Kami tidak datang ke gereja kecuali saat Natal atau ketika ada rekan seagama yang menikah atau meninggal.”

Musa pun mengecap pendidikan dasar di sekolah Katolik di Melbourne, Australia. Ketika itu, Musa sangat menyukai pelajaran agama. “Ketika bicara soal Injil, tentang nabi-nabi, entah mengapa saya sangat menyukainya,” katanya.

Tetapi, tetap saja kesukaan itu tidak lantas membuat Musa mengaplikasikan ajaran agamanya dengan fasih. Meski demikian, kepercayaan pada agama membuat dia menerapkan batasan dalam hidupnya.

“Saat beranjak remaja saya berhasil menghindar dari tingkah laku buruk yang kerap dilakukan teman-teman seumuran saya. Mereka pergi ke klub, minum-minum, bahkan memakai obat-obatan.” Dia juga tidak berzina dengan perempuan yang dikencaninya.

Keyakinan pada Tuhan dan agama berhasil dipertahankannya hingga dia duduk di sekolah menengah. Ketika itu, Musa belajar di sekolah yang sangat liberal dan dijalankan oleh orang-orang dengan pemikiran yang sangat sosialis.

“Hal ini diterapkan dalam berbagai aspek di sekolah. Kami tidak perlu menggunakan seragam dan boleh memanggil guru kami dengan nama mereka. Saya benar-benar merasakan kebebasan di sana,” katanya.

Saat itu, Musa merasa bisa melakukan apa saja. Tetapi, kesenangan mendapatkan kebebasan buyar ketika sejumlah pemikiran sosialis yang diterimanya di kelas tidak sesuai dengan apa yang diyakininya.

“Semua guru di sekolah tersebut berusaha untuk mempromosikan paham sosialis. Mereka menyatakan kekagumannya pada Hitler atau ajaran Marxis,” katanya.

Lalu, saat bicara tentang agama, mereka akan mencela agama habis-habisan dan bercerita tentang Yesus atau Bunda Maria yang dipercayai Musa ketika itu dengan sangat vulgar. Mereka percaya bahwa agama dibentuk oleh manusia sendiri.

“Dan, agama bagi mereka telah mati.”

Pandangan tersebut tidak rasional baginya. Musa percaya, manusia adalah makhluk yang lemah, yang selalu membutuhkan bantuan dalam hidupnya. Lalu, bagaimana mereka mampu menciptakan Tuhan?

“Saya kemudian mulai banyak berdebat dengan para guru maupun teman-teman di sekolah tentang paham tersebut. Berusaha untuk membenturkan sosialis dengan agama,” katanya.

Dan, debat-debat tersebut selalu dimenangkan oleh Musa. Para sosialis tersebut tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal bila dihadapkan dengan agama. Sementara, Musa akan habis-habisan membela agamanya.

“Namun, semakin saya membela agama saya, semakin saya merasa tidak mengenal agama saya. Apakah agama yang saya perjuangkan ini benar-benar agama yang tepat,” katanya.

Kesadaran tersebut membuat Musa mulai mempelajari agamanya. “Saya pulang ke rumah, membuka kitab suci Katolik, dan membacanya dari halaman pertama,” katanya. Menurut Musa, ini kali pertama dia membaca kitab sucinya dengan serius.

Syok

Membaca Alkitab untuk pertama kalinya membuatnya syok. “Kata-kata yang digunakan dalam kitab tersebut cenderung kasar. Saya tidak membayangkan bila anak kecil membaca kitab tersebut,” katanya.

Saat itulah, Musa mulai ragu. Pertanyaan muncul di benaknya, “Apakah benar kata-kata yang sangat vulgar tersebut berasal dari Tuhan?” Di dalam kitab tersebut, misalnya, diceritakan tentang kisah kaum Nabi Luth yang menyukai insan sejenis dengan sangat vulgar.

Musa kemudian beralih membaca Kitab Perjanjian Lama. Kitab ini sudah tidak banyak lagi disentuh oleh umat Kristen. Saya juga terkejut karena di dalam kitab tersebut diberi tahu pentingnya memanjangkan jenggot. “Kaget juga karena tidak ada satu pun pendeta yang memanjangkan jenggot mereka,” katanya.

Kitab tersebut juga melarang umat Kristen untuk meminum alkohol dan makan babi. “Bagaimana mungkin, sementara di gereja kami kerap diminta untuk minum wine. Sementara, babi adalah makanan yang paling disukai orang Kristen, apalagi orang keturunan Italia seperti keluarga saya,” katanya.

Terpikir olehnya, bagaimana mungkin Tuhan melarang banyak hal, tetapi tidak ada yang dijalankan oleh umat Kristen. Mereka berkompromi secara sepihak tentang larangan tersebut. “Mereka hanya melakukan sejumlah ajaran Tuhannya. Memilih yang mudah untuk dijalankan.”

Berislam dan Hijrah ke Mesir

Pada 2000, Musa mendapat kesempatan mengunjungi Vatikan. Kesempatan ini ia gunakan untuk memulai pencariannya terhadap Tuhan. “Saya mempelajari semua agama. Tetapi, saya sama sekali tidak menyentuh Islam,” katanya.

Dia baru berkenalan dengan Islam berkat seorang teman. Saat pertama kali mengenal teman tersebut, Musa melihat kebanggaan yang besar di dalam dirinya. “Dia memperkenalkan diri kepada saya tanpa ragu. ‘Mari berteman dan apakah kamu tertarik masuk Islam?’” kata Musa menirukan ucapan temannya yang Muslim itu.

Dia, kata Musa, menjawab keinginannya untuk lebih mengenal Islam. Sang teman dengan senang hati menjawab pertanyaan apa pun tentang Islam. Dia lalu memberikan Musa sebuah Alquran. Tetapi, Musa tidak pernah membacanya. “Suatu hari, Alquran tersebut ditemukan oleh kakak saya dan dia membakarnya,” katanya.

Kejadian itu membuat saya semakin bertanya-tanya. Mengapa ada orang seperti teman saya yang masih tetap bertahan dengan keislamannya, padahal orang-orang di sekelilingnya membenci agama tersebut.

Musa kemudian bertemu lagi dengan seorang teman beragama Islam yang berasal dari negara komunis. “Dia menjelaskan kepada saya bahwa Islam juga memercayai Yesus, tetapi Yesus dianggap sebagai nabi. Sama dengan Musa atau Muhammad, tak seperti pemahaman umat Kristen terhadapnya,” katanya.

Sang teman juga menyatakan bahwa Islam hanya mengenal satu Tuhan dan tidak ada kompromi atas hal tersebut. “Dalam Islam, Tuhan tidak pula dianggap sebagai seorang laki-laki,” katanya. Tidak juga seperti agama Yahudi yang memercayai bahwa roh Tuhan berasal dari roh-roh laki-laki dan perempuan Yahudi.

Musa lalu membaca lebih banyak tentang Islam. “Saya baca, baca, dan baca. Saking banyaknya membaca, saya menjadi fasih menjelaskan tentang Islam. Bahkan, saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman saya tentang Kristen dari apa yang saya baca dari hadis atau literatur Islam lainnya,” katanya.

Musa mulai datang ke masjid untuk melihat dan kadang belajar shalat. “Saya bahkan berpuasa selama sebulan, seperti Muslim lainnya saat Ramadhan,” katanya. Musa juga terus membaca dan mempelajari Alquran.

“Sekali saya memulai membacanya, saya tidak bisa berhenti. Dan, ketika saya selesai membaca seluruh isinya, saat itu pula saya yakin untuk menjadi Islam,” katanya. Dia pun membaca syahadat dan menjadi seorang Muslim pada usianya yang ke-17 tahun.

Kini, ayah dari dua orang putri itu menikmati kehidupannya sebagai Muslim dengan damai dan penuh rasa bangga. Semua pertanyaan dan keraguannya se lama ini terjawab sudah oleh Islam. Ia pun hijrah dari negara asalnya di Australia untuk hidup di negara dengan mayoritas Muslim, Mesir.

Hal tersebut dilakukannya agar bisa mempraktikkan dan mem pelajari Islam secara lebih baik. Meski demikian, ia tidak memutuskan hubungan dengan tanah airnya dan terus berdakwah untuk kemajuan peradabaan Islam di negara asalnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement