Kamis 15 Jun 2017 14:28 WIB

Reino: Saya Malu tak Rajin Berdoa

Mualaf (ilustrasi).
Foto:

Empat tahun ia memeluk agama Hindu. Selama itu, Pedersen justru tergugah mengenai konsep Tuhan. Saat tak lagi menjadi penganut Hindu, Pedersen masih digandrungi pertanyaan tentang Tuhan. “Itu membuka minatku kepada Tuhan. Pencarian akan Tuhan pun aku mulai,” ujarnya.

Ia pun mempelajari beragam agama. Ia mencari konsep Tuhan. Hasilnya, ia mendapati bahwa semua agama mengajarkan kebenaran. Namun, Tuhan sesungguhnya hanyalah satu. Lalu, di mana Tuhan itu?

Pedersen pun kembali ke Eropa. Ia menyendiri dan mencari eksistensi Tuhan. Dalam kesendirian dan kesunyian, ia berseru kepada Tuhan yang ia pun tak tahu ada di mana. “Jika Engkau memang ada, Engkau bisa mendengar saya. Jika Engkau memang ada, Engkau bisa melihat saya. Jika Engkau memang ada, Engkau tahu kebutuhan saya,” seru Pederson. Ia berharap Tuhan dapat membimbingnya.

Saat pulang ke Denmark setelah perjalanan panjang, Pederson memilih pindah ke pedesaan dan merawat kebun. Di sana ia mencoba menenangkan diri dalam pencarian Tuhan. Dalam beberapa waktu, ia sering kali duduk menyendiri di kamar, menyeru Tuhan. Ia berdoa agar Tuhan membimbingnya. “Aku buta, tuli, bisu, dan tak tahu apa yang baik untuk saya. Maka berilah saya jalan, bukakan pintu untuk saya, berilah saya bimbingan,” doa Pederson yang terus ia ulang setiap waktu.

Doanya terijabah. Suatu hari seorang teman lama mengunjunginya. Teman lamanya itu telah berislam. Ia mengajak Pederson untuk menjelajahi Gurun Sahara. “Ia merencanakan perjalanan ke Gurun Sahara untuk belajar beberapa hal dari suku Tuareg. Ia meminta saya untuk bergabung dengannya karena ia tahu bahwa saya telah menyeberangi gurun Sahara sebelumnya. Saya langsung setuju untuk ikut. Gurun selalu membuat saya tertarik. Sebelum berangkat, saya menegaskan bahwa saya tak tertarik untuk menjadi seorang Muslim. Saya tidak keberatan tinggal di antara Muslim, tapi saya tidak akan masuk Islam,” ujar Pederson mengenang.

Pederson pun melakukan perjalanan bersama Muslimin. Banyak hal yang kemudian menjadi pengetahuan baru baginya. Bagaimana mereka shalat, berjamaah, berwudhu, berdoa. Ia juga kaget dengan adanya panggilan azan.

“Melihat mereka aku merasa malu. Belum pernah saya merasa malu seperti itu. Saya malu karena tak rajin berdoa. Saya tak banyak meluangkan waktu untuk Tuhan. Waktu untuk Tuhan hanya di sisa waktu saya saja. Ketika saya cenderung pada keinginan dan kebutuhan pribadi, orang-orang itu justru memberikan waktunya untuk Tuhan,” ujar Pederson.

Tak lama ia mulai mempelajari Islam. Ia mulai ikut serta dalam shalat mereka, berdoa dan diskusi bersama. Saat itulah cahaya Allah memasuki hati Pederson. Ia merasakan kerinduan akan Tuhan yang teramat sangat. Ia jatuh hati pada Islam. Pederson kemudian memeluk agama Islam.

“Setalah masuk Islam, saya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang apa yang saya cari selama ini. Karena kenyataannya, saya selalu menjadi Muslim di hati saya. Saya sangat bersyukur menempuh jalan ini dan mendapat kebaikan Allah yang terus mengalir di hidup saya,” ujar Pederson terharu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement