Jumat 21 Dec 2018 05:01 WIB

Derita Muslim Uighur: Cadangan Migas dan Penindasan Beijing

Cadangan minyak dan gas terbesar Cina berasal dari Tarim, tempat dulu Muslim Uighur.

Warga Muslim Uighur Cina menunaikan ibadah di tengah aktivitas siang hari.
Foto: Reuters
Warga Muslim Uighur Cina menunaikan ibadah di tengah aktivitas siang hari.

Oleh: Harun Husein, Jurnalis Republika

Xinjiang tak kunjung tenang. Wilayah otonomi Uighur di barat laut Tiongkok ini selalu saja mengabarkan nestapa Muslim yang hak asasinya diinjak-injak pemerintah komunis Cina. Dua kali kawasan ini coba dimerdekakan, dua kali pula republik Islam berdiri di sana, tapi negara baru itu selalu berhasil dibubarkan.

Jika Anda membayangkan Xinjiang sebuah kawasan kecil di tepi gurun pasir Asia Tengah, Anda keliru. Xinjiang adalah sebuah kawasan besar, luasnya setara dengan tiga pulau Sumatra atau sama dengan Pakistan dan Afghanistan yang digabung menjadi satu. Sejak dulu, Xinjiang merupakan wilayah penting yang diperebutkan.

Dulu, Xinjiang merupakan urat nadi perdagangan dunia karena berada di Jalur Sutra. Kini, Xinjiang merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam. Ungkapan ‘di mana ada azan, di situ ada minyak’ juga terbukti di sini. Cadangan minyak dan gas terbesar Republik Rakyat Cina (RRC) ada di sini, khususnya, di Xinjiang bagian selatan (Tarim Basin), tempat Muslim Uighur sejak dulu tinggal menetap di bawah sistem pemerintahan tradisional yang disebut Khanate atau Khaganate (lihat peta).

Dengan luas 1,6 juta kilometer persegi, Xinjiang setara dengan 17 persen wilayah Cina dan merupakan wilayah otonomi terbesar di Cina. Tapi, hanya lima persen (80 ribu kilometer persegi) wilayahnya yang bisa ditinggali. Meski demikian, wilayah yang hanya lima persen ini setara dengan 100 kali luas daratan Jakarta.

Sebagian besar wilayah Xinjiang adalah gurun pasir, padang rumput, danau, hutan, dan perbukitan. Xinjiang berada di kaki Gunung Tianshan yang membelah Asia Tengah. Xinjiang berbatasan dengan delapan negara, yaitu Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh tembok besar yang dibangun dinasti demi dinasti di Cina selama 2.000 tahun. Karena itu, orang-orang Uighur pun menjadikan fakta ini sebagai argumen bahwa tanah mereka bukanlah bagian dari Cina, apalagi mereka pun bukan orang Cina. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai orang Turkistan Timur.

photo
Jaringan pipa gas Uighur dan Beijing.

Kawasan Xinjiang, dalam sejarah diperintah berbagai kerajaan. Pemerintahan tersebut dimulai dari Tocharians, Yuezhi, Kekaisaran Xiongnu, Negara Xianbei, Kekaisaran Kushan, Khagan Rouran, Kekaisaran Han, Liang, Qin, Liang Barat, Dinasti Tang, Kekaisaran Tibet, Khagan Uyghur, Khan KaraKhitan, Kekaisaran Mongol, Dinasti Yuan, Khan Chagatai, Moghulistan, Qara Del, Yuan Selatan, Khan Yarkent, Dinasti Qing, Republik Cina, dan terakhir Republik Rakyat Cina (RRC).

Dinasti Qing masuk ke Xinjiang setelah Muslim Uyghur dan Muslim lain di Asia Tengah, meminta bantuan untuk menghadapi orang-orang Dzungar-Mongol, yang selalu mengganggu. Setelah orang-orang Mongol-Buddha ditumpas, Dinasti Qing mendatangkan orang-orang Han dan Hui untuk menempati kawasan utara (Dzugar Basin). Tapi, mereka tidak diperbolehkan memperdagangkan babi dan minuman keras ke kawasan selatan yang dihuni Muslim.

Kawasan Tarim Basin disebut juga sebagai Huiland atau tanah Hui yang terjemahan bebasnnya adalah Tanah Muslim.

Sekadar catatan, Hui awalnya bukan nama etnik. Dulu, istilah Hui disematkan kepada penganut Islam, Kristen, bahkan Yahudi. Tapi, lama kelamaan istilah ini menyempit untuk menyebut Muslim. Jenghis Khan, misalnya, kerap menyebut Muslim dengan istilah “Hui-hui.” Belakangan, istilah Hui menyempit lagi, khusus untuk orang Cina Muslim berkulit kuning. Orang Hui dan Han saat ini sebenarnya secara etnis tak ada bedanya.

Pada pertengahan abad ke-19, Dinasti Qing melemah akibat perang dan pemberontakan. Mulai Perang Candu dengan Inggris pada 1839 hingga 1860, pemberontakan Taiping atau perang sipil di selatan Cina (1850-1864), dan pemberontakan Muslim Hui dan Uighur di Xinjiang pada 1864 yang terimbas pemberontakan Cina Muslim di Gansu dan Shaanxi, dua provinsi di sebelah timur Xinjiang (lihat peta).

Pada 1864 orang-orang Han dan Hui terlibat bentrok parah yang dikenal dengan Revolusi Dungan atau Revolusi Hui Muslim. Revolusi ini awalnya bertujuan memberi pelajaran kepada pemerintahan-pemerintahan korup dan para pejabat penindas rakyat. Karena itu, tak terdengar istilah jihad atau pendirian negara Islam. Tapi, kemudian orang-orang Han (Prajurit Taiping) mendatangi kawasan Muslim, seperti Shaanxi atas dukungan Dinasti Qing dan membentuk milisi Yong Ying. Orang-orang Hui pun merespons dengan membentuk milisi.

Kondisi chaos saat itu berlanjut saat Khan Kokand dari kawasan yang kini merupakan Kirgiztan bersama pasukan Turko-Muslim-nya memasuki Xinjiang dari Kasghar. Ironisnya, pasukan yang dipimpin Yaqub Beg ini menjalin aliansi dengan milisi Han dan mengepung pasukan Muslim di Urumqi. Yaqub memerintah di sana enam tahun. Rusia pun ikut ambil bagian dan pada 1871 mengepung kawasan Lembah Ili yang kaya, termasuk Gulja di utara Xinjiang.

Belasan tahun kemudian, barulah Dinasti Qing siuman. Mereka mengirim pasukan untuk menumbangkan Yaqub Beg dan mengambil Gulja dari Rusia. Selanjutnya, Diansti Qing menggabungkan kawasan utara Tianshan (Dzungar Basin) dengan kawasan selatan (Tarim Basin) yang didiami Muslim dan pada 1884 menamainya Xinjiang yang berarti batas baru. Xinjiang menjadi sebuah provinsi.

Namun, karena orang-orang Han dan Hui di Xinjiang utara hampir punah akibat perang sipil, orang-orang Uighur di selatan pun akhirnya menyebar ke utara. Maka, jadilah seantero Xinjiang didiami mayoritas Muslim Uighur. Selain menjadi rumah orang Uighur, Xinjiang juga ditinggali orang Kazakh, Tajik, Kirgiz, Hui, Han, dan Mongol.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement