Selasa 12 Dec 2017 09:06 WIB

Happy Birthday Haji Oma: Sound Of Moslem, Viva Dangdut Musik Indonesia!

Oma Irama dan Rita Sugiarto  di tahun 1970-an.
Foto:
Rhoma Irama saat bernyanyi di acara resepsi pernikahan

Lukman kemudian kembali meneruskan ceritanya, i penghujung tahun 1960-an, setiap habis subuh,  tetangga di sebelah rumah orang tua saya di Cikarang,  Bekasi,  memiliki kebiasaan tetap: mula-mula memutar piringan hitam pengajian Quran.  Qori dan Qoriah kegemarannya ialah Muhammad Dong dan Sa'idah Ahmad. Keduanya adalah juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) 1968.

“Sesudah itu,  tetangga yang saya sapa Ceu Iyah itu memutar piringan hitam berisi lagu-lagu dari Orkes Melayu (OM) Purnama pimpinan Ahmad Zakaria,  atau OM Ria Beluntas pimpinan Ahmad Basahil,’’ kenang Lukman kembali. 

Maka, suara merdu yang terdengar dari piringan hitam itu, terutama dari O.M. Purnama, ialah suara Titing Yeni,  Elvi Sukaesih,  Ellya Khadam,  Muchsin, Mansyur S,  dan Oma Irama.  Yang disebut terakhir  belakangan membentuk OM Soneta.

Ceu Iyah, tetangga saya itu,  ungkap Lukman, memang mengikuti perkembangan musik Melayu dengan menambah koleksi piringan hitamnya. Rupanya Ceu Iyah menggemari Oma Irama dengan Sonetanya.
 
Maka tiap pagi,  terdengarlah suara merdu Oma Irama mendendangkan "Berkelana”: Kalau aku berkelana, Tiada yang tahu, ke mana ku pergi...."

Lagu ”Berkelana" kala itu digemari banyak orang. Lantaran itulah pada album-album berikutnya Oma melahirkan seri "Berkelana II,"  dan seterusnya. Jejak kentalnya hubungan dangdut dengan musik India dan Melayu terlacak pada lagu 'Dangdut' atau yang dikenal publik dengan lagu 'Terjana'.

 

Seorang antropolog Amerika Serikat William H Frederick pun sempat mengatakan penggemar Oma Irama saat itu mencapai sekitar 20-30 juta dari populasi penduduk Indonesia saat itu jumlahnya mencapai 130 juta orang.

Frederich menulis begini: ...dangdut diproduksi oleh seorang super star sejati Indonesia: Rhoma Irama. Ia lebih dari seorang super star biasa yang hanya berarti sosok penting dan terkenal, yang hanya bermakna bagi kalangan dengan tingkat perekonomian atau intelektualitas tertentu. Rhoma Irama adalah bintang bagi massa yang sesungguhnya, bagi kalangan elit dan alit, bagi kalangan konglomerat hingga orang-orang melarat. (Frederick, William H. 1982. Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Hal 102-130).

Meskipun popularitas Oma Irama meningkat karena "Berkelana”, puncak sukses yang melambungkan nama Oma Irama tidak syak lagi ialah lagu "Begadang" yang dipublikasikan pada 1974. 

Di panggung hiburan seperti di Taman Ria Monas,  Jakarta, Oma Irama adalah jaminan mutu. Publik berhimpit sampai ke depan panggung,  apabila Oma Irama yang bermain musik.

Sayangnya, popularitas Oma Irama dengan "Begadang"-nya ternyata mengusik ketenteraman jiwa para pemusik status-quo.  Dari mulut mereka keluar kata-kata kotor mencerca musik melayu --belakangan oleh Radio Agustina Junior di Jakarta dipopulerkan dengan nama musik dangdut. 

Sebagian "orang kota" menyebut dangdut sebagai "musik kampungan". Seorang pemusik cadas dari Bandung menyebut dangdut "tai kucing!"

"Musik dangdut kampungan? Bahkan ada penyanyi top yang sering menjuari festival nyanyi, ikut lantang bersuara agar musik dangdut dilarang saja!

"Kayaknya orang kota itu seperti berkuasa menghakimi,  memutuskan baik buruknya suatu nilai. Padahal keputusan mereka ini belum tentu benar," ujar pemusik Guruh Sukarnoputra ketika merasa galau dengan adanya sebutan kasar itu.

"Siapa bilang memalukan,  kampungan? Musik jazz atau musik apapun bisa dibilang kampungan kalau yang membawakan tidak becus," segah pemusik jazz kenamaan,  Jack Lesmana, yang juga ikt menanggapi.

Oma Irama sendiri tiba-tiba menjadi ikon musik dangdut.  Membicarakan musik dangdut, orang mesti lari ke Oma.  

"Sebagai sesama seniman,  saya senang pada keberhasilan Oma. Begitu dangdutnya ia mulai,  orang-orang langsung berkerumun dan ikut menari. Ia bintang yang berhasil," kata pemusik Eros Jarot.

Jack Lesmana tanpa sungkan mengaku suka kepada Oma. Beat yang dibawakan Oma,  baik. Aransemen dengan unsur-unsur rock,  disenangi Jack. "Oma tidak sembarangan main. Ia cukup memakai pikiran dalam penggarapan musiknya," kata Jack Lesmana.(Keterangan foto: Oma Irama (duduk), bersama personel band Super Kids, Jelly Tobing, Dedy Stanzah, dan Dedy Dores. Foto koleksi Buyunk Aktuil).

Pemain biola termasyhur,  Idris Sardi mengaku tidak risi dan tidak merasa rendah diri memainkan musik dangdut. Idris Sardi mengaku pernah merekam lagu "Begadang" milik Oma Irama. 

"Kita memang tidak bisa berbohong," kata pemusik Harry Roesli,  "Dangdut memang disukai banyak orang, terutama rakyat kecil." Dan Idris yang menjadi pelanggan Piala Citra untuk ilustrasi musik di berbagai film itu kemudian ikut terlibat dalam salah satu produksi film terlaris Rhoma Irama: Satia Bergitar

Soal jejak sejarah adanya tudingan bahwa musik dangdut kampungan terekam kembali pada tulisan Buyung Aktuil, wartawan senior sebuah majalah usik yang menjadi ikon di dekade 1970-an: Majalah Aktuil. Dalam sebuah catatannya di media sosial di menceritakan kembali isi sebagian tulisannya kala para musisi tertentu saat itu menyepelekan eksistensi Oma Irama dan dangdut.

Buyung menulis 'panasnya' persaingan antarsesama seniman musik kala itu seperti ini:

Perseteruannya dengan Benny Soebardja jadi melebar setelah Deddy Dores ikut-ikutan an buka suara menantang duel meet Giant Step vs Oma Irama & OM Soneta. "Tentukan tempat dimana,kami siap membabat habis" teriak Dores.

Sang kaisar (Oma Irama, red) menanggapi seruan Dores dengan santai."Deddy Dores lupa kalau OM Soneta sudah nge-rock ala Deep Purple.Selain itu Giant Step hanya show di GOR,sedangkan OM Soneta selalu show di lapangan terbuka".


Oma menegaskan dirinya bukan takut duel meet.

"Karena saya ber-dhangdut buat rakyat kebanyakan.kalau grup2 rock musiknya terbatas buat kalangan tertentu. Saya hanya bisa berharap agar siapapun jangan sembarangan mengumbar kata2,menantang kesana kemari.Atau bilang musik dhangdut itu kampungan.Kalau mau bersaing,mari kita bertarung secara 'fair' dengan musik kita masing-masing".

Dan dalam hal ini mendiang jurnalis Kartoyo DS yang sempat menulis biografi Oma Irama, mengatakan bila kemampuan dan felling musik Oma itu anugerah Illahi. Dia memang ditunjuk Tuhan untuk menjadi penyanyi.''Dulu di awal kariernya kalau Soneta latihan malam hari sudah banyak yang menontonnya. Tempat latihan Soneta itu berada tak jauh dari pinggiran kali CIliwung di kampung Bukit Duri Tebet. Tiap kali latihan itu di seberang kali ramai orang menontonnya dan mendengarkan lagunya dari kejauhan. Tanda itu terlihat dari banyaknya titik api rokok di seberang Ciliwung itu. Jadi di seberang kali terlihat muncul lentikan api kayak cahaya kunang-kunang,'' ujar Kartoyo.

Nah, jejak pertarungan wacana mengenai musik dangdut antara Oma Irama dan elite pemusik Indonesia terekam pada lagu 'Musik'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement