REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah kafir dan warga negara sesungguhnya berada dalam dua konteks yang berbeda. Bila keduanya diletakkan dalam konteks yang sama, perlu penjabaran lebih lanjut sehingga tidak menimbulkan kerancuan.
Hal itu ditegaskan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin. Dia memandang, ada kerancuan di dalam penggantian istilah kafir menjadi warga negara (muwathinun).
"Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda. Kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik," kata Din Syamsuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (5/3).
Karena itu, wajar bila polemik yang berkembang belakangan ini menjadi perlu diluruskan. Menurut Din, penjelasan awal yang diterima publik dari Munas dan Konbes Ulama NU cenderung mengaitkan kedua istilah tersebut.
Din menuturkan, ajang yang dihelat PBNU itu sebelumnya menyimpulkan, "dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah kafir, tapi muwathin." Polemik atas simpulan itu lalu berkembang pada tataran konseptualisasi kafir secara teologis. Hal itu berdasarkan asumsi, Munas dan Konbes tersebut menafikan atau meniadakan istilah kafir.
"Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut)," ujar Din.
Di dalam Alquran, kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) disebut 525 kali. Semua itu merupakan penunjukan Ilahi (dalalah Ilahiyah) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu. Lebih lanjut, Alquran kerap menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tetapi banyak juga dalam nada personal, baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).
Dengan demikian, Din menekankan, istilah kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis. Sesuai dengan arti harfiahnya, yaitu 'menutup', maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri, tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan sebagai wahyu kepada umat manusia melalui rasul-rasul pilihan-Nya.
Dalam hal ini, kafir juga bisa dinisbatkan kepada mereka yang, walaupun beriman kepada Allah, membangkang terhadap ajaran-ajaran-Nya serta enggan bersyukur atas segala nikmat-Nya. Maka dari itu, muncul istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat.
"Alquran juga mengenalkan konsep-konsep etis lain yang berhubungan dengan konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya misal menurut ahli keislaman dari Jepang, Toshihiko Itzuzu, itu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam Islam," kata ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu.
Maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam. Tidak ada maksud "kekerasan teologis" di dalam istilah kafir. Menurut Din, sesungguhnya istilah tentang "orang luar" ini biasa di dalam setiap agama.
Orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap sebagai orang luar (outsiders) atau orang lain (the others). Masalah baru muncul ketika istilah kafir dipakai dengan nada labelisasi-negatif atau pejoratif yang bertujuan menghina atau menista. Kata kafir itu sendiri tidak mengandung masalah di dalam dirinya.
"Semua agama, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, memiliki istilah atau konsep ttg 'orang luar' dan 'orang lain' ini, dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik karena memakluminya maupun karena memang mereka merasa bukan 'orang dalam' lingkaran keyakinan tersebut," papar Din.
Kalaupun mesti merujuk pada sejarah era Nabi SAW, istilah kafir tidak pernah dikaitkan secara vulgar dengan pemeluk agama-agama lain kala itu, misal Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Masing-masing mereka disebut dengan nama komunitas keagamaannya tersendiri. Bahkan, terhadap Yahudi dan Nasrani, Alquran sering memanggil keduanya sebagai "Penerima Kitab" (Ahlul Kitab).
"Artinya, istilah kafir dalam arti 'berada di luar akidah Islam' tidak menjadi kata panggilan (label), melainkan hanya pemahaman terhadap orang luar Islam. Jadi, hanya sebatas konsep," simpul Din.
Maka dari itu, penggantian istilah kafir menjadi warga negara perlu dipertanyakan signifikansinya. Dalam kasus kekinian, menurut Din, pemakaian istilah khas masing-masing agama tentang pihak luar (outsiders) atau pihak lain (the others) tidak populer di ruang publik. Hal itu berlaku baik di Indonesia maupun negara-negara luar.
Alih-alih kafir, istilah 'pemeluk agama lain' lebih kerap digunakan. Misalnya, non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dan seterusnya. Dalam bahasa Inggris, istilah itu menjadi the other faiths (pemeluk agama-agama lain). Apalagi, kini zamannya dialog dan kerja sama antaragama, baik pada skala global maupun nasional.
"Jelasnya, istilah atau konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan," kata pendiri Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) itu.