Kamis 28 Feb 2019 04:12 WIB

BKMT: Muslimah Indonesia Tampil Beragam, Termasuk Bercadar

Stigma terhadap cadar muncul karena orang belum terbiasa melihat Muslimah bercadar.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi Muslimah bercadar.
Foto: Foto : MgRol100
Ilustrasi Muslimah bercadar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) mengajak masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk tidak menempelkan stigma pada cadar. BKMT mengatakan polemik soal pemakaian cadar lantaran kesan radikal tak perlu ada.

"Di Indonesia, belum banyak orang yang memahami dan belum banyak orang yang memakai cadar dalam kesehariannya, jadi banyak orang tidak biasa melihat perempuan bercadar," kata Ketua BKMT, Syifa Fauzia, kepada Republika.co.id, Rabu (28/2).

Baca Juga

Menurut Syifa, stigma terhadap cadar muncul karena masyarakat belum terbiasa melihat orang memakai cadar. Ada yang sampai mengira perempuan bercadar identik dengan orang radikal.

Syifa mengatakan, Muslimah bercadar jamak terlihat saat melaksanakan umrah dan haji. Bahkan, perempuan Indonesia banyak yang ikut menggunakan cadar saat berada di Arab Saudi.

Setiap pengguna cadar tentu memiliki motivasi tersendiri ketika memutuskan untuk menggunakan penutup wajah hingga tinggal mata saja yang terlihat. Syifa menjelaskan, alasan paling mendasar penggunaan cadar umumnya ialah keinginan untuk menutup sempurna tubuh perempuan dari pandangan lawan jenis. Namun, ada saja orang yang mengiranya berlebihan dalam beragama atau terafiliasi organisasi radikal.

"Kita di negeri yang mayoritas Muslim nggak usah seperti itu karena ini pilihan masing-masing Muslimah," ujarnya.

Syifa mengungkapkan, Muslimah berhijab di Indonesia menampilkan dirinya dengan sangat beragam. Ada yang nyaman hanya dengan menggunakan hijab dan ada juga yang memilih menutup aurat sampai kaki.

Di samping itu, ada pula Muslimah yang terbiasa menggunakan hijab sampai menutup dada atau memakai cadar. Menurut Syifa, keberagaman itu tidak perlu diperdebatkan di negeri mayoritas Muslim.

Syifa juga berpendapat masyarakat tidak perlu memperdebatkan siapa yang lebih agamis dan shalehah, antara orang yang bercadar dan tidak bercadar. Menggunakan cadar dan menutup aurat tidak menggambarkan kesholehaan seseorang, juga tidak menggambarkan sebagai orang radikal.

Cadar, menurut Syifa, tidak menghalangi aktivitas Muslimah. Mereka dapat menjalani aktivitasnya seperti biasa.

"Cadar sudah mulai umum dipergunakan dan itu nggak perlu dipermasalahkan," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesi (MUI) Sumatera Barat Buya Gusrizal Gazahar mengimbau masyarakat agar tidak memusuhi Muslimah yang menjalankan syariat agama dengan menggunakan cadar. Terlepas dari hukumnya wajib atau sunah, penggunaan cadar merupakan cara berpakaian yang dulu diterapkan oleh istri nabi Muhammad SAW.

"MUI tidak suka hal-hal yang sebenarnya syariat, apapun itu hukumnya wajib atau sunat malah dilarang. Jangan sampai memakai cadar itu tercetak di benak generasi muda kita kalau itu sebuah hal yang salah," kata Gusrizal, kepada Republika.co.id, Rabu (27/2).

Gusrizal memahami bahwa ada banyak anggapan atau cibiran yang mengatakan penggunaan cadar merupakan tradisi Arab dan dianggap tidak relevan diterapkan di Indonesia. Namun, alumnus Universitas Al Azhar Kairo mengingatkan ada fakta yang membuktikan bahwa cadar melekat di keluarga Nabi sehingga tidak salah bila Muslimah menirunya sebagai bagian dari syariat Islam.

"Cadar melekat pada istri-istri nabi kita. Jadi kalau ada yang ingin meniru atau menajalankan syariat, jangan dimusuhi," ujar Gusrizal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement