Selasa 29 May 2018 05:02 WIB

Mushala Rowatib: Kembalinya Semangat Keislaman Warga Kauman

berdiskusi berbagai hal terkait agama dan kemajuan negara (Mangkunegaraan).

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Subarkah
Pura Mangkunegaran
Foto: wordpress.com
Pura Mangkunegaran

REPUBLIKA.CO.ID,  SOLO --- Tak banyak yang mengetahui jika di Kelurahan Kestelan, Banjarsari Solo terdapat sebuah mushola bersejarah. Namanya mushola Rowatib. Mushola ini ini merupakan simbol dari kesuksesan umat muslim Solo dalam mengembalikan ghiroh keislaman terutama pasca pemindahan masjid Nagara.

Beberapa waktu lalu, Republika bersama Solo Societeit mengunjungi mushola tersebut. Jaraknya hanya sekitar 450 meter saja dari Masjid Al Wustho Mangkunegaraan. Mushola ini berada persis di samping jalan Kalimantan, Kestelan. Siapapun akan dengan mudah menemukannya, sebab tepasang papan nama bertulis Langgar Umum Rowatib Kauman Pasar Legi.

Menurut sejarawan yang tergabung dalam Solo Societeit, Heri Priyatmoko mushola tersebut menjadi pemicu kembalinya semangat warga setempat (Warga Kampung Kauman Lama) dalam menjalankan syariat Islam. Menurut Heri, sebelum mushola Rowatib berdiri, terdapat sebuah masjid yang menjadi tempat beribadah dan berkumpul umat muslim serta warga kampung Kauman Mangkunegaraan.

Masjid tersebut berada di sebelah barat atau perempatan Pasar Legi.  Namun pada 1878, masjid itu dipindahkan oleh Mangkunegara IV ke Barat Pura Mangkunegaraan yakni Masjid Al Wustho. Penataan kota menjadi asalannya.

"Perpindahan sarana ibadah ini akhirnya mengakibatkan Kauman kehilangan unsur pokok menopang identitas kampung religi dan markas para ulama," tutur Heri.

Bersamaan dengan itu, pemerintahan lebih disibukan menggeluti sektor ekonomi melalui pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu. Kepentingan keagaaman warga kauman pun terabaikan. Ahasil, satu demi satu warga kauman Mangkunegaraan mengalami kegoyahan tauhid.

Menurut Heri dalam serat itu dituliskan warga setempat yang tadinya sering ke masjid justru lebih sering ke Prambanan berziarah ke Ratu Jonggrang. Dan meski meski ada masjid Gedhe, atau masjid Agung, warga pun tak bisa sering ke sana. Sebab Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta pada saat itu tak bisa bebas untuk berbagai aktifitas warga seperti berembug dan lainnya. 

Pada 1935, seorang pedagang muslim yang melihat kondisi tersebut tergerak, ia kemudian membeli sebidang tanah dan mewakafkannya untuk dibangun mushola. Ialah Muhammad Habib. Ia pun menjadi motor yang menggerakan warga Kauman Mangkunegaraan kembali menjadikan mushola sebagai sentral kegiatan.

Selain untuk ibadah sholat fardhu berjamaah, di mushola itu warga setempat sering menggelar pertemuan berdiskusi berbagai hal terkait agama dan kemajuan negara (Mangkunegaraan). Tepat di depan mushola Rowatib, terdapat rumah kecil yang menjadi rumah Muhammad Habib dan kini masih ditempati oleh keturunannya yakni Salamah.

Hingga saat ini, mushola tersebut masih digunakan warga untuk melaksanakan sholat berjamaah. Bangunan masjid dengan gaya klasik tetap dipertahankan dengan tiang-tiang penyangga luar bangunan terbuat dari kayu. Bagian dalam masjid hanya terdiri dari empat shaf saja di mana ada papan pembatas antara jamaah pria dan wanita. Di atas masjid ukuran tahun berdiri masjid itu pun mash bisa terlihat dengan jelas.

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement