Rabu 27 Feb 2019 20:37 WIB

Benarkah Khalifah Umar Membakar Buku?

Khalifah Umar difitnah telah membakar buku-buku di perpustakan wilayah taklukan.

(ilustrasi) aktivitas di perpustakaan pada masa keemasan Islam
Foto: tangkapan layar 'the house of wisdom'
(ilustrasi) aktivitas di perpustakaan pada masa keemasan Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Filsuf Prancis, Roger Garaudy (wafat 2012), dalam bukunya Promesses de l’Islam menangkis isu-isu kebencian terhadap tokoh-tokoh Muslim klasik. Dalam hal ini, dia menanggapi adanya fitnah yang dialamatkan kepada mereka.

Di antaranya adalah, fitnah bahwa Khalifah Umar bin Khaththab merusak perpustakaan besar di Alexandria saat pasukan Islam berhasil menaklukkan Mesir. Menurut Garaudy, hoaks itu perlu diluruskan.

Baca Juga

photo
Roger Garaudy

Yang sesungguhnya terjadi adalah, perpustakaan itu sudah tidak ada lagi jauh sebelum pasukan Islam datang pada 640. Alih-alih kaum Muslimin, sebut dia, justru para penguasa Barat pada abad pertengahan yang menunjukkan perangai buruk itu.

Pada 391, misalnya, Patriarch Theophile mendesak kaisar untuk membakar perpustakaan Akademi Serapeum di Alexandria (Iskandariah, Mesir). Patriarch itu berdalih, lembaga itu mendukung paganisme. Padahal, bangunan itu bernilai sejarah tinggi, sebab berdiri sejak abad kedua sebelum Maseh.

 

Pada tahun 600, perpustakaan istana Kaisar Augustus (wafat tahun 14) dibakar habis. Selanjutnya, para fanatikus dari Eropa menyuruh masyarakat setempat agar tidak membaca buku-buku sastra klasik dan matematika.

 

Islam, Inspirasi Eropa

Garaudy meneruskan, peradaban Barat modern sudah sepantasnya berterima kasih terhadap upaya-upaya Islam. Sebab, risalah tersebut terbukti menyinari Eropa dengan kecintaan terhadap buku.

Definisi buku itu sendiri terfiksasi sejak orang-orang Arab berhasil mengembangkan teknik membuat kertas yang diadopsi dari bangsa Cina. Pabrik kertas pertama di negeri Muslim berlokasi di Baghdad (Irak) dan berdiri pada 800.

Sejak saat itu, wujud naskah tidak lagi berupa lembaran-lembaran daun, tulang, atau benda apa pun yang diragukan keawetannya bila disimpan lama di rak-rak. Efeknya, jumlah perpustakaan tumbuh subur di seantero kerajaan-kerajaan Islam.

Sebagai contoh, koleksi Bayt al-Hikmah di Baghdad saja membludak menjadi satu juta buku pada 815. Berpuluh tahun kemudian, pada 891 seorang sejarawan mencatat ada lebih dari 100 perpustakaan umum hanya di Baghdad. Kota kecil semacam Najaf punya rumah baca dengan koleksi 40 ribu buku.

Pada abad ke-10, Sultan al-Hakim dari Kordoba, Andalusia, punya koleksi pribadi sebanyak 400 ribu buku. Astronom Muslim asal Persia, Nashruddin al-Tusi (lahir 1201) punya 400 ribu buku. Sultan al-Aziz dari Dinasti Fatimiyyah punya 1,6 juta buku, yang sebanyak 16 ribu dan 18 ribu di antaranya membahas tentang matematika dan filsafat.

photo
(ilustrasi) raja charlemagne

Bandingkanlah angka-angka itu dengan kepemilikan buku Charlemagne alias Karel yang Agung (742-814). Dialah penguasa dari kalangan bangsa Frank yang dinobatkan sebagai raja oleh Paus pada 800. Menurut Garaudy, dia hanya memiliki 900 buku, kendati begitu seluruh Eropa menggelarinya sebagai “penguasa yang pandai.”

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement