Rabu 20 Feb 2019 18:00 WIB

Perhatian Islam pada Sektor Perhotelan (6)

Dari pengembangan pasar, lahirlah konsep penginapan komersil

(ilustrasi) peta yang menggambarkan luas wilayah Islam pasca-wafatnya Nabi SAW
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) peta yang menggambarkan luas wilayah Islam pasca-wafatnya Nabi SAW

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesampainya di Madinah dalam rangka hijrah, Nabi Muhammad SAW mendirikan tatanan baru di sana. Banyak sektor yang menjadi konsen, termasuk mengenai urusan komersial.

Beliau SAW menginstruksikan pendirian satu pasar baru, sehingga total ada lima pasar di kota tersebut. Namun, pasar yang wujudnya berupa tenda-tenda sederhana itu kemudian dihancurkan musuh.

Baca Juga

Rasulullah SAW lantas mendirikan kompleks pasar baru yang kali ini lebih luas. Para pedagang di dalamnya juga tidak dipungut pajak.

Adanya bebas pajak (tax exemption) itu membuat Madinah lebih menarik di mata kafilah-kafilah dagang, ketimbang Makkah. Demikian menurut Benedikt Koehler dalam Early Islam and the Birth of Capitalism (2014).

 

Membuka Penginapan bagi Kafilah Dagang

Sistem pasar yang telah diinisiasi Nabi Muhammad SAW mulai berubah sejak era Kekhalifahan Umayyah. Khalifah ke-10, Hisyam bin Abdul Malik, mengubah wujud pasar menjadi bangunan permanen dua lantai yang disebut magazine.

Lantai pertama difungsikan sebagai tempat tinggal-sementara para kafilah, terutama yang berasal dari luar daerah. Adapun lantai kedua sebagai tempat transaksi jual-beli dan gudang. Di Madinah, magazine yang ada merupakan konstruksi terbesar kedua setelah Masjid Nabawi pada masa itu.

Perniagaan yang wajar tidak mengenal identitas agama dan bangsa. Islam hadir dengan memerhatikan semangat kosmopolitan semacam itu.

Syariat yang diajarkan Rasulullah SAW menentukan agar setiap penguasa Muslim melindungi para pelancong, sekalipun mereka non-Muslim. Ketika norma itu diterjemahkan ke dalam kebijakan politik-ekonomi, tujuannya antara lain menjamin keselamatan kafilah-kafilah dagang yang datang dari luar negeri Muslim.

Koehler menyebutkan, sepanjang peradaban Islam berjaya, penguasa menetapkan pajak 10 persen bagi setiap pedagang asing (mustamin) yang beraktivitas di wilayahnya. Setelah membayar kewajibannya, kaum mustamin berhak atas perlindungan negara dan izin tinggal satu tahun.

Di saat yang sama, mereka pun wajib mematuhi aturan Islam, termasuk larangan praktik riba dan penjualan minuman yang memabukkan. Kalau boleh dibandingkan, dengan beban pajak yang sama, para pedagang Muslim yang singgah di kota-kota Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) hanya memeroleh izin tinggal empat bulan.

Baca juga: Perhatian Islam pada Sektor Perhotelan (7)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement