Ahad 25 Mar 2018 10:07 WIB

Ibnu Khaldun, Sejarah: Asal Kehancuran Negara dan Peradaban

Negara dan peradaban hancur karena kecongkakan, bermegah-megahan, dan bermewahan.

Ibnu Khaldun
Foto: blogspot
Ibnu Khaldun

Apakah negara bubar hanya khayalan arau fiksi dalam novel dan komik?  Jawabnya ternyata: tidak sama sekali! Banyak negara tengelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama, Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistens negara itu sebuah kenyataan kekal dan final.

Soal bubarnya negara pun telah dtulis di Republika sudah ditulis pada 20 Oktober 2016, ketika memuata buah pikiran pegiat sejarah Islam, Ilham Martasyabana. Dalam tulisan dia membahas tulisan seejarawan besar Muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406 M), mengartikan sejarah dalam kitabnya yang fenomenal Muqaddimah sebagai “catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia”.

Ibnu Khaldun mempelajari  tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu seperti kelahiran, keramah-tamahan, dan solidaritas golongan, tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan lain. Dan sebagai akibatnya, kemudian  timbul kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam kegiatan dan kedudukan orang. Baik itu untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan umumnya tentang segala macam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.

Sebagai seorang sejarawan konsep-konsep sejarah pun bermunculan dari penjelasan Ibnu Khaldun tersebut, mulai dari “umat manusia”, “peradaban”, “watak masyarakat”, “solidaritas golongan” (ashobiyah), “revolusi”, “pemberontakan”, “kerajaan”, “negara”, “tingkatan dalam masyarakat”, “ilmu pengetahuan dan keterampilan”, “kemajuan” hingga “perubahan” atau “proses”.” Ilmu sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah ilmu yang sangat urgen bagi umat manusia di samping sangat digemari berbagai kalangan.

Bagi Ibnu Khaldun, sejarah terbangun dari dua sisi, sisi luar (material, lahiriah) dan sisi dalam (sisi batiniah, filosofinya). Sisi luarnya sejarah menjelaskan kondisi tentang makhluk Tuhan (umat manusia), menguraikan hal ihwalnya, perluasan wilayah dan perputaran kekuasaan di berbagai negeri.

Sisi dalam, atau bisa juga dikatakan sisi batiniah sejarah merupakan tinjauan, kajian, dan analisis tentang berbagai kejadian dan elemen-elemennya, ilmu yang mendalami tentang berbagai peristiwa dan sebab-akibatnya, serta pula filsafat moralnya.

Dengan demikian, Ibnu Khaldun termasuk sejarawan yang mensyaratkan tinjauan peristiwa, analisis, pola-pola dan sebab-akibatnya sebagai syarat ilmu dan penulisan sejarah. Menarik disimak bahwa mayoritas sejarawan Muslim, termasuk Ibnu Khaldun mempercayai bahwa filsafat moral (tentu saja yang berlandaskan Islam) adalah bukan hanya sekedar unsur belaka, tetapi juga dianggap “ruh” sejarah.

Maka, hal tersebut mengingatkan pada pemikiran George Frederick Hegel, filsuf idealisme Jerman, yang membagi sejarah ke dalam tiga jenis: sejarah asli, sejarah reflektif dan sejarah filsafati. Ibnu Khaldun ditinjau darisisi “dalam” sejarahnya memiliki kemiripan dengan sejarah reflektifnya Hegel, di mana cara penyajian sejarah tidak dibatasi oleh waktu peristiwa sejarah yang ditulis sejarawan, tetapi ruhnya melampaui masa kini dan masa lalu. Sebagai contoh yang umum bagi kita,adalah penulisan sejarah yang dihubung-hubungkan dengan rasa nasionalisme, persatuan Indonesia, atau dengan “spirit Islam”.

Sejarah jenis ini selalu dihubung-hubungkan dengan spirit atau ruh yang bisa dipetik generasi masa kini tanpa selalu terkait dengan waktu peristiwa sejarahnya sendiri. Misalnya dalam buku Menemukan Sejarah dan Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, dari beberapa aspek, kedua buku tersebut bisa mencontohkan sisi “dalam” sejarah, atau sejarah reflektif.

Sama halnya dengan Ibnu Khaldun, saya teringat Goldwin Smith, sejarawan dari Universitas Oxford di abad 19 dalam bukunya The Study of History: Two Lectures mengakui bahwa filsafat moral -sebagai sisi “dalam” sejarah- merupakan suatu kesatuan dengan sejarah. Smith menyatakan dengan untaian kata yang bernuansa slogan, “Sejarah adalah sebuah rangkaian fakta belaka tanpa filsafat moral, dan tanpa sejarah, filsafat moral cenderung menjadi mimpi belaka.”

Dari sisi “luar” atau lahiriyah sejarah, Ibnu Khaldun memiliki gagasan yang kemudian dikenal sebagai scientific history (sejarah ilmiah) setidak-tidaknya dengan empat tahapan, pertama, untuk membangun rekonstruksi penulisan sejarah terlebih dahulu diungkapkan metode kritik sejarah yang menjadi landasan pemikiran sejarahnya.

Dengan mengetahui kesalahan-kesalahan sejarawan terdahulu, Ibnu Khaldun akhirnya dapat merumuskan pemikiran sejarahnya sendiri; Kedua, membuang hal-hal yang dianggap tidak diterima nalar (rasio); ketiga, objektivitas sejarah, dan terakhir (keempat), pendekatan empiris pada sejarah (historical empiricism approachment).

Menurut Muhammad Enan dalam Ibnu Khaldun: His Life and Works penulisan sejarah Ibnu Khaldun didasarkan oleh dua motif yakni semangat ilmiah dan kenegarawanannya, serta argumennya dalam sejarah menggambarkan pelepasan dari belenggu tradisi ilmiah sebelumnya.

Sehingga sering dikatakan Ibnu Khaldun menciptakan bentuk baru ilmu sejarah menjadi sejarah ilmiah (Scientific History), ini merupakan suatu terobosan ilmiah yang belum ada di masa itu, sebagaimana yang diutarakan Muhammad Syafi’i Ma’arif dalam Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Di Eropa, usaha-usaha untuk menjadikan sejarah sebagai “suatu disiplin yang ilmiah” baru dipopulerkan abad 19 oleh sejarawan Jerman, Leopold von Ranke.

 

                                                                         

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement