Kamis 16 Nov 2017 20:30 WIB

Tiga Kekhasan Masjid Kuno Nusantara

Rep: c62/ Red: Agung Sasongko
Masjid Demak
Foto: wikipedia
Masjid Demak

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pada awal masa kejayaan Islam di nusantara, masjid merupakan bagian paling menonjol dari arsitektur Islam yang fungsinya tidak  hanya sebagai pusat kehidupan keagamaan, tetapi manifestasi nilai seni arsitektur Islam.

Di Indonesia, masjid memiliki ciri khas dibanding masjid dari negara lain, terutama masjid-masjid kuno, selain ada unsur standar sebuah masjid, seperti kubah, mihrab, dan menara.

Sejumlah masjid yang memperlihatkan kekhasan arsitektur, seperti masjid agung (raya) yang didirikan di ibu kota-ibu kota kerajaan, seperti di Demak, Banten, Cirebon, Banda Aceh, Yogyakarta, Surakarta, dan Sumenep.

Dari segi morfologi, masjid-masjid besar itu merupakan ciri penting bagi pusat keagamaan.

Perbedaan karakteristik bangunan masjid antara satu wilayah dan wilayah lain tak hanya ada di Indonesia. Tentu, ada juga di negara lain lantaran memang tak ada keterikatan dan keharusan baku, kecuali posisi kiblat.

Berikut ciri khas yang melekat pada masjid kuno Indonesia yang berbeda dengan masjid yang dimiliki negera-negara lain.

Punden Berundak

Ciri khas ini selalu melekat pada masjid-masjid yang dibangun pada masa kerajaan.

Bagian punden berundak atau teras berundak pada masjid sering tidak disadari maknanya dan dianggap sebagai tangga bertingkat biasa sehingga keberadaannya diabaikan begitu saja.

Padahal, jika ditelurusi, ciri khas ini memiliki alkulturasi antara zaman Megalitikum dan proses Islamisasi di Indonesia.

Punden, yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya objek-objek pemujaan, sementara pada masyarakat Sunda artinya pihak yang dipuja. Makna filosofisnya, keberadaan tangga itu simbol media yang mengantarkan seseorang kepada Allah SWT melalui shalat lima waktu. 

 

Atap Berundak

Pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha, bentuk atap bertingkat ini disebut meru yang dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa.

Penggunaan atap berundak pada sebuah masjid, di masa awal Islamisasi, justru menimbulkan daya tarik tersendiri bagi pemeluk Buddha dan Hindu.

Akulturasi yang muncul pada masjid tersebut tidak menimbulkan kekagetan budaya atau cultural shock. Faktor penting lain dari segi teknik yang disesuaikan dengan ekologi bawah atap berundak ini memudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan sekaligus sebagai ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila panas.

Alun-alun

Ciri khas lain dari masjid kuno yang dibangun pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam selalu dibangun di dekat rumah raja atau alun-alun yang kini keberadaannya selalu terintegrasi dengan wilayah lain di tengah kota. Banyak pesan masjid dibangun di kompleks permukiman kerajaan, salah satunya untuk menunjukkan bahwa penguasa setempat beragama Islam. Pada masa prakolonial atau zaman kerajaan, alun-alun wajib dimiliki oleh suatu kerajaan sebagai tempat sakral bertemunya rakyat dengan raja selain sebagai tempat upacara.

Ketika agama Islam masuk ke nusantara, alun-alun keberadaannya mengalami penyesuaian kebudayaan. Hampir semua kerajaan Islam di sebelah barat alun-alunnya dibangunkan masjid. Selain untuk ritual suci keagamaan, masjid juga digunakan sebagai tempat pertunjukan seni bernuansa agamis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement