Sabtu 12 Aug 2017 23:21 WIB

Hukuman Mati dalam Lintas Peradaban

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi
Foto: .
Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah peradaban kuno, praktik eksekusi mati setidaknya sudah diberlakukan sejak zaman Babilonia di Mesopotamia. Salah satu dokumen tertulis paling awal yang mendukung hukuman berat tersebut adalah Undang-Undang Hammurabi yang ditulis pada permukaan batu sekitar 1754 SM.

UU tersebut disusun oleh Raja Hammurabi yang memerintah Mesopotamia antara 1792-1750 SM. Di dalamnya terdapat 282 butir hukum yang mengatur hubungan sosial masyarakat Babilonia pada masa itu, termasuk juga masalah yang berhubungan dengan pidana mati.

“Beberapa aturan di dalam UU itu tidak saja mengancam hukuman mati bagi para pelaku kejahatan, tetapi juga orang-orang yang dianggap lalai menjalankan tugasnya sehingga berakibat pada hilangnya nyawa orang lain,” kata arkeolog Inggris, Leonard William King dalam bukunya The Code of Hammurabi.

Contoh unik aturan pidana mati dalam UU Hammurabi dapat ditemukan pada butir 229. Di situ disebutkan, jika sebuah rumah roboh dan membunuh pemiliknya, pembangun rumah tersebut akan dihukum mati. Selanjutnya, pada butir 230 dinyatakan, jika rumah yang roboh itu membunuh anak dari pemilik rumah, anak dari pembangun rumah itulah yang akan dihukum mati.

Sementara, pada butir 231 dikatakan, jika rumah yang roboh itu membunuh budak si empunya rumah, pembangun rumah harus menggantinya dengan budak yang baru kepada pemilik rumah. Teori hukum ini dikenal dengan istilah “hilang mata diganti mata” atau “hilang nyawa dibayar nyawa”.

Beberapa dokumen kuno lainnya juga mendukung hukuman mati, termasuk naskah keagamaan Yahudi dan Nasrani. Dalam kitab Torah (Taurat) atau oleh kalangan Kristen juga dikenal dengan istilah Pentateukh (lima kitab pertama Perjanjian Lama), ada ketetapan hukuman mati bagi para pelaku pembunuhan, penculikan, sihir, pelanggaran Hari Sabat, dan berbagai kejahatan seksual.

“Kendati demikian, sejumlah bukti menunjukkan bahwa hukuman mati yang bersumber dari ajaran agama tersebut jarang diterapkan,” jelas pakar hukum internasional asal Kanada, William Schabas, dalam bukunya The Abolition of the Death Penalty in International Law.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement