Jumat 01 Mar 2019 16:19 WIB

Andai Lautan Menjadi Tinta

Islam sejatinya agama yang menghargai ilmu.

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung

Sejatinya, Islam adalah agama yang menghargai ilmu. Sebab tanpa ilmu, ajaran Islam tak akan bisa dipahami, diamalkan, dan diajarkan dengan baik. Demikian pula, kepada orang-orang berilmu ('ulama) diberikan kedudukan mulia (QS 58:11).

Berkat kedalaman ilmunya, mereka memahami rahasia dan hikmah penciptaan semesta sehingga timbul rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT (QS 3:190-191, 35:28).

Nabi SAW pun menyuruh setiap Muslim menuntut ilmu (HR Bukhari). Beliau juga memotivasi kita agar mengambil peran dalam aktivitas keilmuan. "Jadilah kalian orang berilmu ('aaliman), atau orang yang belajar ilmu (muta'alliman), atau orang yang mendengar ilmu (mustami'an), atau orang yang mencintai ilmu (muhibban). Tapi jangan menjadi orang yang kelima, niscaya kalian akan celaka," (HR al-Bayhaqi).

Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW pun semakin menguatkan kita agar menjadi orang berilmu. "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan...." (QS 96:1-5). Perintah membaca (iqra`) diulang dua kali sebagai pintu ilmu. Lalu, menulis dengan pena (al-Qalam) untuk melahirkan buku. Jika baca dan tulis dilakukan dengan asma Allah, niscaya akan dicurahkan keluasan ilmu, bahkan diajarkan sesuatu yang belum diketahui (ilmu ladunni).

Ayat ini mendasari pentingnya literasi dalam Islam. Prof Didin Hafidhuddin mengatakan, literasi adalah kemampuan mengolah dan memahami informasi ketika proses membaca dan menulis dilakukan sehingga melahirkan ilmu pengetahuan. Mengapa literasi penting ditumbuhkan pada anak-anak kita?

Pertama, menjalankan perintah agama. Allah SWT dan Rasul-Nya menyuruh kita membaca dan menulis. Perintah itu sejalan pula dengan tuntutan sejarah untuk menulis Alquran. Nabi SAW telah menyuruh beberapa sahabat mulia menulisnya di pelapah kurma dan kulit hewan. Kemudian hari dilakukan kodifikasi hadis hingga lahir para perawi besar, seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Kedua, untuk membangun peradaban. Tanpa budaya baca dan tulis, tidak akan terbit buku-buku berkualitas tinggi sebagai sumber pengetahuan. Tanpa referensi, umat Islam pun tidak akan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun peradaban. Kesadaran itu pula yang melahirkan para penulis disepanjang sejarah Islam dalam bidang tafsir, hadis, sejarah, kedokteran, dan lainnya.

Ketiga, belajar tiada henti. Tanda orang berilmu itu tidak pernah berhenti belajar. Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al- Azhar menukil syair Imam Syafi'i rh, "Kullama azdadtu 'ilman, izdadtu 'ilman bijahlii". (Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambah yakinlah aku, bahwa aku ini masih bodoh). Karena itulah, para Mufassir selalu menutup tulisannya dengan ungkapan "Allahu a'lam bish-shawab" (Allah yang lebih tahu maksud yang sebenarnya).

Keempat, ilmu Allah sangat luas. Hamparan alam yang terbentang di daratan dan lautan bahkan ruang angkasa, tak pernah kering untuk dibaca, diteliti, dan ditulis. Kemampuan manusialah yang terbatas untuk memahami kedalaman ayat-ayat Allah yang tersurat dan tersirat di alam semesta. Andaikan lautan menjadi tinta dan pepohonan menjadi pena, tetap tidak akan cukup untuk menulisnya (QS 18:109, 31:27).

Selamat dan apresiasi kepada para penulis yang menyemarakkan Islamic Book Fair 2019 di JCC Jakarta (27 Feb-3 Maret 2019). Orang tua dan guru hendaknya mengajak anak-anak berwisata literasi agar lahir para penulis besar pada kemudian hari. Allahu a'lam bis-shawab. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement