Senin 22 Jun 2015 16:24 WIB

Kepatuhan Masyarakat atas Fatwa Sulit Diukur

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Agung Sasongko
Wakil Ketua MUI Ma'aruf Amin berbicara saat konfrensi pers fatwa MUI selama tahun 2014 di Jakarta, Selasa (3/3). MUI mencetuskan empat fatwa, diantaranya penyamakan kulit hewan dan pemanfaatannya juga hubungan lesbian, gay, sodomi, pencabulan.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Wakil Ketua MUI Ma'aruf Amin berbicara saat konfrensi pers fatwa MUI selama tahun 2014 di Jakarta, Selasa (3/3). MUI mencetuskan empat fatwa, diantaranya penyamakan kulit hewan dan pemanfaatannya juga hubungan lesbian, gay, sodomi, pencabulan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jendral Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Imdadun Rahmat menilai kepatuhan masyarakat atas fatwa sulit diukur. Ia menilai kepatuhan itu berdasar ketundukan spiritual.

Imdadun pun menolak pandangan fatwa kini sudah melemah di masyarakat. "Fatwa itu keberterimaannya tergantung pada seberapa jauh lembaga itu kredibel di depan umatnya," kata Imdadun kepada ROL, Senin (22/6).

Seseorang, kata Imdadun, akan mengikuti fatwa tergantung pada kepercayaannya dengan sosok ulama institusi tertentu. Imdadun menjelaskan, institusi tersebut bisa berupa ormas Islam mana pun. "Ketundukan pada fatwa ada di hati sehingga susah diukur," ujarnya.

Imdadun mengaku fatwa tidak sama dengan regulasi. Menurutnya, fatwa itu terkait dengan pertanggungjawaban di akhirat. Sedangkan regulasi mengikat di dunia.

Meski begitu, Imdadun menilai negara harus bisa menyerap nilai luhur dari agama-agama. Khususnya, ungkapnya,  agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas warga Indonesia. "Semakin abai pemerintah terhadap ajaran atau fatwa dari para ulama maka semakin tidak demokratis negeri ini," katanya.

Imdadun menilai, jika fatwa tidak diakomodir maka ada hak yang tercabut karena konstituen terbesar negara ini adalah umat Islam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement