Selasa 03 Oct 2017 16:30 WIB

Memakai Nama Belakang dengan Nama Suami

Muslimah (ilustrasi)
Foto:

Tradisi penamaan orang Arab sebenarnya bersumber dari Alquran sendiri. Firman Allah SWT, "Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu." (QS al-Ahzab [33]: 5).

Tradisi ini telah ada, tumbuh, dan berkembang bersama bangsa Arab bahkan sebelum adanya ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhamamd SAW. Bangsa Arab sangat bangga jika mereka hafal ranji atau silsilah nasab mereka. Artinya, mereka adalah keturunan yang terpelihara.

Dalam Alquran, Allah SWT juga menyebut nama-nama dengan mengikutsertakan nama belakang dari bapaknya. Misalnya dalam ayat, "Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya," (QS al-Ahzab [33]: 12). Demikian juga Nabi Isa AS yang lahir tanpa ayah. Ia juga disebut kaumnya dengan nama belakang ibunya, sebagaimana dalam ayat Alquran, "Dan karena ucapan mereka, sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih Isa bin Maryam, Rasulullah." (QS an-Nisa [4]: 156).

Para istri yang suaminya adalah orang terpandang juga ingin ikut terkenal. Caranya dengan mencantumkan nama suami di belakang namanya. Namun, hal seperti ini ternyata tak diakomodasi dalam syariat Islam. Berbeda dengan anak, yang memang seyogianya memakai nama sang ayah di belakang namanya.

Para istri Nabi SAW tak pernah memakai nama Muhammad di belakang nama mereka, walau agung dan tingginya kedudukan sang suami. Mereka tetap dipanggil Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Zainab binti Jahsy, dan seterusnya.

Jika terpaksa menyebut nama suami, sebutlah si Fulanah istrinya si Fulan. Sebagaimana dicontohkan dalam ayat Alquran, "Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir." (QS at-Tahrim [66]: 10).

Sekalipun khalayak mengetahui secara pasti, nama belakang si istri adalah suaminya, hal ini tetap tidaklah diperbolehkan. Misalkan, penyebutan nama istri presiden yang diikuti dengan nama suaminya sebagai seorang presiden. Tetap saja hal ini keliru dalam pandangan syariat. Pandangan inilah yang sudah mentradisi di kalangan Arab dari dahulu hingga saat ini.

Dikhawatirkan pula, ada semacam penyelewengan nasab hanya gara-gara abai soal penyebutan nama. Hal ini punya konsekuensi serius dalam syariat. Sebagaimana hadis Nabi SAW menegaskan, "Siapa yang bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya." (HR Bukhari). Wallahu a'lam.

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement