Senin 27 Mar 2017 21:00 WIB

Menghukum Pelaku Pedofilia

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
pedofilia - ilustrasi
Foto: blogspot.com
pedofilia - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pedofilia kembali merebak di Tanah Air. Puluhan anak di bawah umur menjadi korban para pelaku pedofil. Praktik pelecehan seksualitas ini terungkap sering kali terjadi di media sosial. Salah satunya yakni akun Official Candy's Group. Akun ini dilaporkan sejumlah orang tua ke Polda Metro Jaya pekan lalu. Akun yang anggotanya telah berjumlah lebih dari 7.000 pengguna itu diketahui kerap mengunggah konten-konten pedofilia.

Dahsyatnya, para anggota yang tergabung dalam grup yang berdiri pada September 2014 tersebut juga disyaratkan aktif sebagai pedofil. Ratusan video, gambar, serta kisah-kisah para pedofil memanfaatkan korban mereka juga telah diunggah dalam laman tersebut.

Sejauh ini, belasan korban anak-anak dari para anggota Official Candy's Group telah diungkap pihak kepolisian. Sejumlah tersangka terkait akun Official Candy's Group juga telah diringkus penyidik Polda Metro Jaya, di antaranya M Bahrul Ulum alias Wawan (27 tahun), Illu Inaya (24), SHDW (16 tahun), dan DF alias T-Day (17).  Admin akun tersebut, Aldi Atwandi Jauhar (24), juga telah ditangkap.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendapat informasi bahwa para pelaku pedofil memberikan iming-iming materi kepada anak-anak untuk mendapatkan konten pornografi. Untuk satu kali aksi, mereka dibayar 14-15 dolar AS. Deputi bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu menjelaskan, jejaring pedofil bisa merambah hingga ke luar negeri. Dia pun mendesak kasus grup pedofil di media sosial diusut tuntas. Hukuman yang diberikan kepada para pelaku mesti seberat-beratnya. "Ini kan fenomena gunung es, dari satu akun aja segitu," kata dia.

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pedofil berarti orang yang memiliki selera seksual terhadap anak kecil. Istilah erotika pedofilia diciptakan pada tahun 1886 oleh psikiater asal Wina, Richard von Krafft-Ebing dalam tulisannya Psychopathia Sexualis. Istilah ini muncul pada bagian yang berjudul "Pelanggaran Individu pada Abad Empat belas," yang berfokus pada aspek psikiatri forensik dari pelanggar seksual anak pada umumnya.

Ebing menjelaskan, beberapa tipologi pelaku dalam tipologi "penyimpangan psikoseksual." Dia mengaku, hanya menemukan empat kali kasus tersebut selama kariernya. Peneliti masokisme ini pun memberikan deskripsi singkat untuk setiap kasus dengan tiga ciri berbeda.

Pertama, individu tercemari oleh keturunan. Kemudian, daya tarik utama subyek adalah untuk anak-anak, daripada orang dewasa. Terakhir adalah hal yang dilakukan oleh subjek biasanya tidak berhubungan seks, tetapi melakukan tindakan yang tidak pantas seperti menyentuh atau memanipulasi anak dalam melakukan tindakan pada subjek.

Allah SWT menciptakan manusia untuk hidup di muka bumi dengan berpasang-pasangan. Dengan demikian, mereka bisa beranak-pinak dan menghasilkan keturunan.  "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembangkan keturunan lelaki dan wanita yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya ,kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS an-Nisa: 1).

Allah SWT pun tidak melarang hasrat seksual yang ada di dalam diri manusia selama pelampiasannya dilakukan di tempat yang benar.  Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 223 dijelaskan, berhubungan intim diungkapkan dengan kiasan. Istri diumpamakan sebagai tempat bercocok tanam. Maka, suami diminta untuk mendatangi tanah tempat bercocok tanam itu sebagaimana dikehendaki. Kemudian, Allah SWT memerintahkan untuk mengerjakan amal baik dan bertawakal kepada Allah SWT karena kelak akan menemui-Nya.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bahkan memadankan hubungan intim dengan sedekah. Dengan catatan, apabila penyaluran syahwat sesuai dengan tempatnya. "Di kemaluan setiap orang di antara kamu itu ada sedekahnya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami apabila menyalurkan syahwatnya mendapat pahala?" Beliau menjawab, "Benar, bukankah apabila dia menyalurkannya kepada yang haram dia berdosa? Demikianlah, kalau ia menyalurkannya kepada yang halal, ia mendapat pahala. Apakah kamu hanya memperhitungkan keburukan dan tidak memperhitungkan kebaikan?" (HR Muslim).

Sebaliknya, jika penyalurannya tidak tepat, Allah SWT mengecam dan mengancam dengan hukuman berat. Kita bisa belajar dari kisah Nabi Luth AS yang harus menghadapi kaum homoseksual.  Allah SWT menyebut perbuatan mereka sebagai perbuatan yang amat keji. "Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan istri. Sebenarnya kamu adalah kaum yang berlebihan". (QS al-A'raf: 80-81) Di dalam hukum Islam, segala bentuk hubungan seksual di luar hubungan pernikahan adalah bentuk pelanggaran yang dapat menimbulkan dosa besar. Sanksinya seperti dicontohkan pada zaman Rasulullah SAW adalah rajam atau cambuk. Meski termasuk dalam kategori pidana zina, kasus pedofilia ini pada umumnya melibatkan orang dewasa sebagai pelaku dengan anak-anak yang menjadi korban. Tak ada unsur suka sama suka di sini. Yang ada, pelaku memaksa atau memperdaya korban untuk melampiaskan nafsu bejatnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa bernomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan menjelaskan, tindak kejahatan seksual yang mengorbankan anak-anak sudah meresahkan masyarakat.  MUI lantas memutuskan, aktivitas pencabulan, yakni pelampiasan nasfu seksual seperti meraba, meremas, dan aktivitas lainnya tanpa ikatan pernikahan yang sah, yang dilakukan oleh seseorang, baik dilakukan kepada lain jenis maupun sesama jenis, kepada dewasa maupun anak hukumnya haram.

Pelaku pencabulan pun terkena hukuman ta'zir, yakni hukuman yang sanksinya belum ada dalam Alquran dan hadis. Karena itu, aturan dan sanksinya diserahkan kepada penguasa. Tidak hanya itu, MUI pun menulis bahwa harus ada pemberatan hukuman ketika korban kejahatan tersebut adalah anak-anak. Pemberatan dilakukan hingga hukuman mati.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF menilai, hukuman berat perlu dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak (pedofil). Ia mengatakan, pemerintah dapat mengeluarkan aturan hukuman berat bagi pedofil terutama jika belum ada undang-undang yang mengaturnya. "Apa pun hukumannya bisa dari yang paling ringan hingga paling berat. Itu berada dalam kewenangan pemerintah," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement