Kamis 10 Mar 2011 17:34 WIB

Peter King Klaim Muslim AS tak Kooperatif, LAPD Buktikan Sebaliknya

Sejumlah polisi Kota Los Angeles tengah berpatroli
Sejumlah polisi Kota Los Angeles tengah berpatroli

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES - Petugas Polisi Chand Syed, melakukan patroli dengan jalan kaki. Kadang ia menyusuri jalan hingga ke Islamic Center dan masjid-masjid komunitas Muslim tak terhitung di Los Angeles. Ia bertugas di bawah divisi antiterorisme, Departemen Kepolisian Los Angeles (LAPD).

Namun bila ditanya, ia dengan cepat menjawab bukanlah bagian dari FBI. "Kami bukan mata-mata," tegas Syed, pria berdarah Pakistan yang berimigrasi ke AS ketika ia berusia 5 tahun.

"Jika kami mata-mata tentu kami tak menunjukkan kartu identitas kami dan mengenakan pin LAPD di kerah kami," imbuhnya seraya menunjuk ke bajunya. Cukup jelas untuk memahami bahwa ia telah membuat pernyataan macam itu berulang kali.

Syed dan partnernya, polisi Sameer Abdelmottlep, adalah bagian dari program inovatif baru yang menjangkau komunitis Muslim. Program ini lebih diutamakan ketimbang proyek mata-mata dan pengamatan terhadap Muslim.

"Pada dasarnya kami adalah sisi baik membahagiakan dari upaya antiterorisme apa pun," ujar Syed.

Syed dan partnernya kini mau tak mau berada di tengah debat yang dipercikkan dari Washington. Anggota Kongres AS dari Partai Republik perwakilan New York, sekaligus ketua Komite Keamanan Dalam Negeri, Peter T. King, telah mengajukan dengar pendapat di Kongres bertema radikalisasi yang diklaim ditemukan dalam komunitas Muslim AS.

Dengar pendapat, dijadwalkan Kamis (10/3) Maret telah menuai kecaman sejumlah kelompok, mulai Amnesty International hingga Dewan Urusan Publik Muslim (MPCA).

Sebuah koalisi terdiri dari 51 organisasi sipil melayangkan surat ke juru bicara Parlemen AS, Boehner, dan Ketua Parlemen, Nancy Pelosi, yang menekankan bahwa "menarget satu grup komunitas di Amerika untuk dibedah pemerintah berdasar pada keyakinan mereka adalah sikap memecah belah dan salah."

Dulu, King dikenal beberapa kali mengunjungi masjid di distrik tempat tinggalnya, di Long Island sebelum tragedi WTC. Ia bahkan beberapa kali menghadiri pesta pernikahan Muslim dan jamuan makan malam komunits, demikian menurut kepala Islamic Center di Long Island, Habeeb Ahmed.

Jelas sekali, ada sesuatu yang berubah. Pada 2007, King, kepada Politico, mengatakan bahwa kini ada terlalu banyak masjid di Amerika. Baru-baru ini ia mengomentari permintaan untuk memperluas cakupan dengar pendapat agar tak membidik komunitas Muslim. "Saya tidak akan membiarkan 'politik sopan santun' untuk mengaburkan ancaman bahaya nyata terhadap keamanan rakyat AS," ujarnya.

Pernyataan King mengecilkan upaya seperti yang dilakukan komunitas aparat di Los Angeles. Padahal Syed melaporkan bahwa banyak bocoran-bocoran info tentang militansi dalam masjid yang justru datang dari dalam komunitas. Itu, imbuh dia, menunjukkan bahwa komunitas Muslim bekerja sama dengan penegak hukum dan menentang radikalisasi.

Anggota lain LAPD, Matullah, berdarah Mesir yang masuk ke AS ketika ia berusia 18 tahun, mengakui bahwa divisi antiterorisme memang efektif bekerja. "Namun kami di sini tidak untuk memata-matai orang. Kami menjangkau dan merangkul mereka, itu adalah alat utama kami," ujarnya.

Unit tersebut terdiri dari tujuh petugas dan tidak semua adalah Muslim. Mereka melakukan semua tugas mulai pendidikan internal di tubuh LAPD mengenai budaya Islam dan Muslim, hingga pendidikan ke luar, ke komunitas Muslim menyangkut isu-isu kekerasan domestik dan kriminal didasari kebencian. Berkala, mereka berkunjung ke para pemimpin Muslim di penjuru kota.

Mereka juga rutin menghadiri acara-acara masjid terutama saat shalat Jumat. Ketujuh orang di unit tersebut memandang diri mereka partner yang baik. Namun tentu setiap orang melihat mereka dengan cara yang sama.

"Orang tidak selalu tahu siapa yang bisa dipercaya untuk membicarakan apa pun," ujar konsultan untuk Program Advokasi Muslim Memerangi Sikap Rasial, Nura Maznavi. "Anda tidak bisa bebas memiliki hubungan dengan seseorang yang mungkin mengawasi anda ketika anda berdoa," imbuhnya.

Ironisnya, ketika Departemen Keamanan Dalam Negeri tertarik untuk meningkatkan skala program perangkulan Muslim seperti di Los Angeles, dan beberapa distrik kecil di New York dan Chicago, ada ketegangan antara unit terorisme lokal dan di tingkat federal.

Gesekan terutama dari Departemen L.A Sheriff yang memiliki sendiri Unit Urusan Komunitas Muslim. Unit ini tetap bekerjasama dengan Dewa Hubungan Islami-Amerika (CAIR) meski FBI telah menuduh mereka tidak langsung mendanai dan terkait terorisme.

Namun Sheriff Le Baca tetap mendukung sikap mempercayai komunitas, termasuk memperkuat hubungan dengan organisasi paling dikenal oleh komunitas Muslim, yakni CAIR.

Baca dan unit 'perangkulan'--yang terdiri dari Deputi Sherif Morsi, asli Mesir, dan partner Palestinanya, Mike Abdeen--telah pergi ke Washington D.C untuk mempromosikan visi penegakan hukum sekaligus hak asasi manusia kepada pembuat kebijakan di Departemen Keamanan Dalam Negeri.

"Kesalahan-kesalahan di masa lalu yang dilupakan berpotensi diulang lagi di masa depan," ujar Sherrif Baca dalam dengar pendapat Februari di Kongres mengenai formasi unit khusus tersebut. "Perhatian utama kami di LA adalah kita tak ingin Muslim Amerika di masyarakat merasa sebagai pihak paling bertanggung jawab di serangan terorisme," ujarnya.

Unit dinamai LASD itu melakukan tandem dengan LAPD, mengunjungi masjid-masjid lokal dan bekolaborasi dengan pemuda Muslim dalam berbagai hal mulai dari pembinaan cara berkendara aman dan pencegahan narkoba.

Deputy Morsi, yang datang dari Mesir bersama keluarganya ketika ia berusia 7 tahun mengatakan untuk mendapat kepercayaan komunitas, unitnya perlu waktu bertahun-tahun. "Sungguh, butuh waktu yang sangat, sangat lama untuk itu. Terima kasih Tuhan, upaya kami ternyata bernilai."

sumber : The Huffington Post
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement