Kamis 06 Jan 2011 22:00 WIB

Kisah Sasana Luxemburg, Tempat Palestina dan Israel Baku Pukul

Sasana tinju milik Gershon Luxemburg
Foto: Washington Post
Sasana tinju milik Gershon Luxemburg

REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM-- Di sebuah bunker di permukiman kumuh Yahudi, Ismail Jaafari, bergegas mengenakan sarung tinju dan pelindung kepalanya. Ia lalu naik ke ring warna biru. Pemuda asal Gaza itu langsung baku pukul melawan pemuda Israel di atas ring. Sang pelatih, Gershon Luxemburg, memperhatikan keduanya bertarung dari sudut ring.

Inilah salah satu keunikan di Jerusalem Timur. Sebuah sasana tinju mampu bertahan dengan melatih remaja  dan pemuda Palestina dari Tepi Barat dan remaja Israel. Kedua kelompok baku pukul dalam arena yang sportif.  Mereka dilatih oleh Luxemburg, seorang mantan petinju Yahudi keturunan Rusia.

Luxemburg adalah mantan juara nasional di Uzbekistan dan mantan juara nasional kelas Berat di Israel. Pria bertubuh besar ini tadinya nasionalis Yahudi garis keras. Ia sempat dipenjara selama 20 tahun gara-gara penyelundupan senjata untuk menyerang permukiman Arab Palestina.

Tapi kini Luxemburg berubah. Kakek berumur 66 tahun itu sudah jauh lebih toleran terhadap Palestina. "Sasana tinju kami menerima murid dari mana saja. Tidak peduli dia Israel atau Palestina. Ini salah satu 'pelarian' remaja sekitar dari lingkungan yang buruk," kata Luxemburg.

Di belakangnya, suara baku hantam sarung tinju, "Bak..buk..bak..buk.." menggema. Ismail Jaafari masih terus berlatih dengan semangat.

"Dahulu saya selalu menganggap kalau orang Arab itu pengganggu Israel. Saya selalu melihat Israel dan Palestina tidak pernah bisa hidup bersama," katanya. Tapi gara-gara tinju semua berubah. Sasana ini membuat Palestina dan Israel bisa berteman, membantu satu sama lain," katanya.

Jaafari, (36 tahun), seorang pengemudi truk, mengatakan ia sudah latihan di sasana milik Luxemburg selama 13 tahun. "Di sini kami lebih dari sekedar teman. Luxemburg sudah seperti ayah saya," kata Jaafari.

Namun perjalanannya latihan di sasana itu tidak mulus-mulus amat. Ada kalanya, kalau ketegangan merebak antara Palestina dan Israel, maka Jaafari memilih absen latihan. "Rasanya canggung bertemu mereka, kalau situasi keamanan sedang memanas," katanya.

Tapi Luxemburg akan menelponnya. "Biasanya pelatih menelpon saya. Ia mengatakan, 'Persetan dengan situasi politik di Jerusalem. Datanglah ke sasana untuk berlatih. Kita semua sudah seperti saudara'," katanya lagi.

Ramzi Srour, remaja Palestina asal Jerusalem Timur, menambahkan atmosfir latihan di sasana tersebut tidak pernah terganggu oleh panasnya kondisi politik Israel-Palestina. "Di sasana kami tidak berpikir soal politik. Kami hanya bermain tinju, berolahraga."

Luxemburg memang jadi tokoh sentral di sasananya. Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai mandor bangunan itu kerap membawa anak latihnya berjalan-jalan ke pertandingan tinju, memasak, bahkan tamasya.

"Saya harus melakukannya. Ada anak latih saya yang tadinya belum pernah bertemu dengan orang Arab, mereka hanya melihatnya dari televisi, Palestina melempar batu ke arah Israel. Tapi kini mereka sudah bisa duduk bareng, ngobrol apapun," katanya.

Ide sasana pun berkembang. Jaafari bekerjasama dengan Luxemburg mendirikan sasana tinju dan karate di permukiman Palestina di Jerusalem Timur. Klub milik Jaafari dan Luxemburg kadang mengadakan latih tanding bersama. Petinju-petinju jebolan sasana Jaafari malah punya prestasi nasional.

"Olah raga itu menembus batas-batas politik. Politik adalah bisnis yang kotor yang harusnya disingkirkan. Buktinya kami di sini baik-baik saja," kata Jaafari.

Sementara bagi petinju Israel, kehadiran petinju Palestina adalah sebuah kejutan. "Kami semua berteman kok," kata Yotam Mirzai. "Ring tinju tidak mengenal apakah Anda dari Palestina atau Israel," katanya.

Luxemburg menanamkan petuah bagi anak latihnya. Bedakan jelas antara politik dengan hubungan pertemanan. Ia lalu memberi contoh, ketika konflik Palestina-Israel memanas beberapa tahun lalu. Luxemburg rutin mendatangi rekan-rekannya di Tepi Barat membawa makanan atau baju-baju atau upah bagi para karyawannya yang tidak bisa masuk kerja karena konflik.

"Ada yang namanya musuh dan ada yang namanya teman. Siapapun yang menyerang Anda itu musuh. Tapi teman ya tetap teman. Ada perang dan ada kehidupan. Kita semua harusnya bisa memisahkan itu," katanya.

sumber : Washington Post
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement