REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kian banyaknya perempuan menekuni pekerjaan di sejumlah bidang, diiringi beberapa perdebatan. Menurut Maya Shatzmiller dalam Women and Wage Labour in the Medieval Islamic West, perdebatan biasanya berhubungan dengan kedudukan perempuan dari sudut pandang agama.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah perempuan diperbolehkan bekerja? Jika boleh, apakah penghasilan yang mereka terima bisa disimpan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau diberikan kepada suami? Karena sensitifnya masalah ini, panguasa dan ulama menaruh perhatian khusus.
Shatzmiller menuturkan, alih-alih melarang, umat Islam justru memberikan peluang besar bagi perempuan yang ingin bekerja. Mereka berkesempatan memanfaatkan keahlian yang dikuasainya. Sejarawan Muslim, Ibnu Arafa, mengatakan, para perempuan sudah menekuni beragam pekerjaan sejak abad pertengahan.
Untuk melindungi hak, martabat, dan kedudukan perempuan di tengah masyarakat, pemerintah dan para ulama memandang perlu ada aturan mengenai keberadaan perempuan pekerja itu. Mereka diperkenankan bekerja dan menerima upah dari hasil jerih payahnya.
Penguasa menerbitkan peraturan sedangkan ulama membentengi dengan fatwa. Semua untuk menjamin eksistensi para perempuan pekerja. Di wilayah Maghribi, kini Afrika dan Andalusia, terdapat aturan mengenai perempuan pekerja. Biasanya disesuaikan dengan aturan ketenagakerjaan dan aturan rumah tangga.
Misalnya, tentang tata cara perekrutan, jam kerja, aktivitas kerja, hari libur, serta upah. Sebuah risalah pada abad ke-16 Masehi yang ditulis al-Wansharisi dan berjudul Mi'yar, menceritakan tentang perempuan pekerja itu. Juga aturan dan fatwa para ulama seputar aktivitas perempuan pekerja.
Tak hanya itu, al-Wansharisi juga menulis soal penentuan upah, perlindungan pekerja, dan kontrak kerja. Naskah berharga ini ditulis ulang pada tahun 1896-1897, terdiri atas 13 volume. Dari risalah klasik tersebut, tersingkap keterkaitan peran perempuan dalam menggeliatkan bidang industri dan ketenagakerjaan di dunia Islam.