REPUBLIKA.CO.ID, Anak itu tidak mati digorok ayahnya. Ia justru jadi seorang mulia sebagaimana sang ayah. Begitu mulia hingga nama keduanya terus disebut-sebut. Bahkan, hingga 4.000 tahun kemudian setelah lewat masa hidupnya. Mereka adalah Ismail dan Ibrahim, rasul kekasih Allah SWT. Mereka menjadi sarana Tuhan untuk mengajar manusia: sepotong daging bisa menjadi jalan ke surga.
Gambaran surga dari sepotong daging terlihat di pelataran Masjid Istiqlal, kemarin. Juga, di pelataran masjid-masjid lain di seluruh dunia. Lihatlah wajah orang-orang yang antre di sana. Harga daging jelas tidak seberapa. Di pasar, hanya sekitar Rp 55 ribu sekilo. Daging bercampur tulang pasti lebih murah.
Daging tak seberapa itu telah membuat berjuta wajah manusia berseri. Daging itu begitu berharga buat mereka. Apa imbalan terpantas bagi yang membuat berseri wajah kaum miskin, selain surga? Berkurban seperti bukan hal istimewa. Sekadar menyisihkan uang untuk membeli sapi atau kambing untuk dipotong. Dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Saban tahun, setiap Idul Adha, umat Islam melakukannya. Semua tahu itu. Tak ada yang baru. Tapi, perhatikan betul fenomena pembagian daging kurban. Cermati wajah-wajah mereka--penerima daging kurban. Ada pelajaran luar biasa yang dapat dipetik dari fenomena kurban.
Setidaknya, itu yang saya rasakan pada Idul Adha kali ini. Saya tahu, di sekitar kita banyak warga miskin. Sehari-hari, saya juga selalu berinteraksi dengan orang miskin, baik itu di lingkungan rumah maupun tempat kerja. Data statistik juga menunjukkan jumlah absolut warga miskin Indonesia masih besar. Berlipat kali total penduduk Brunei tentu. Tapi, saya tak menduga, warga miskin benar-benar sangat banyak.
Besar kerumunan warga yang menerima daging kurban di Istiqlal, misalnya, sangat mencengangkan. "Di Jakarta, yang pusat kekuasaan saja, masih begitu banyak orang miskin. Apalagi di daerah," kata seorang teman. Negeri ini negeri makmur. Kekayaan alamnya berlimpah ruah. Semestinya seluruh rakyatnya relatif sejahtera. Apalagi, kita sudah 65 tahun merdeka.
Jika ternyata masih terdapat begitu banyak warga miskin--yang sepotong daging pun buat mereka sedemikian berharga--tentu ada yang keliru dalam mengelola negeri ini. Kekeliruan itu bukan salah satu-dua orang. Kekeliruan itu tentu salah banyak orang. Maka, seluruh bangsa ini perlu turun tangan untuk lebih peduli memperbaiki keadaan. Setidaknya, itulah salah satu pelajaran dari ibadah kurban.
Berkurban bukan sekadar menyembelih sapi atau kambing. Berkurban juga mencakup kerelaan sepenuh hati memberi perhatian dan membantu sesama. Ibadah kurban setahun sekali dengan menyembelih hewan merupakan sarana pengingat agar kita--setiap saat dan setiap keadaan--selalu siap berkurban untuk kebaikan bersama. Hanya orang-orang yang siap berkurban bisa menjadi benar-benar mulia. Itu yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Ismail. Hanya bangsa-bangsa siap berkurban yang dapat menjadi bangsa mulia sejati.
Kerelaan berkurban pada era materialistis sekarang terasa menipis. Dalam melangkah, kita cenderung makin mengabaikan pertimbangan `apa yang terbaik bagi semua'. Kita cenderung mengedepankan `apa untung saya' walaupun kadang dengan merugikan orang lain, termasuk merugikan masyarakat luas. Sikap seperti itu sangat meluas. Bahkan, di kalangan para pejabat dan tokoh sekalipun. Wajar bila kemiskinan bukan teratasi, melainkan malah menahun.
Berkurban mengingatkan kita semua atas hal itu. Berkurban mengingatkan begitu banyak orang tak mampu. Semestinyalah kita terdorong berbuat membantu mereka sesuai kapasitas masing-masing. Apalagi bila kita berkuasa serta mampu mengarahkan kebijakan publik. Dengan semangat berkurban, semestinya seluruh bangsa bahumembahu mengatasi kemiskinan. Sebuah langkah, yang bila kita jalankan secara sungguh-sungguh, akan berhadiahkan sepotong surga. Tidakkah kita mengharap surga sebagai ujung perjalanan di dunia ini?