REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Seperti dikisahkan Alquran, peristiwa kurban bermula dari drama kenabian yang sangat tak masuk akal. Seorang Ibrahim diminta menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Sebuah dialog yang sangat humanis-edukatif pun berlangsung antara ayah dan anak untuk memastikan kebenaran perintah itu.
Setelah diyakini bahwa itu merupakan perintah Tuhan, meskipun sangat irasional, Ibrahim pun melakukannya dengan diiringi sikap pasrah Ismail. Inilah jejak kenabian yang terus kita warisi dengan kesanggupan yang tulus untuk bekurban dengan melepaskan semua yang kita cintai sekalipun.
Kisah yang sarat hikmah itu terus dilakukan setiap kali datang Idul Adha. Setiap Muslim ikut merayakannya. Di tengah gemuruh takbir menjelang Idul Adha itu tumbuh rasa keadilan untuk saling menyapa kebersamaan sambil menelusuri jejak hikmah dari perjalanan sejarah Ibrahim dan Ismail. Takbir inilah yang kemudian membuka pintu kurban.
Dalam konteks pelaksanaan rukun Islam yang kelima, Idul Adha merupakan haflah umat untuk mengapresiasi saudara-saudaranya yang tengah berkumpul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Pertemuan raksasa di Padang Arafah itu memancarkan semangat kebersamaan yang hakiki.
Itu kebersamaan yang senantiasa dirindukan. Wujud kebersamaan yang mungkin sudah sangat sulit ditemukan dalam perjalanan hidup sehari-hari. Kebersamaan yang kini telah terikat pada ukuran-ukuran pragmatisme dalam kalkulasi untung dan rugi.
Untuk mewujudkan spirit Idul Adha, hal terpenting adalah menumbuhkan kembali semangat Arafah. Semangat itu hendaknya tetap mengikat kebersamaan umat. Di tengah cobaan kebersamaan yang saat ini tengah melilit bangsa, pada momentum Idul Kurban kali ini kita berharap dapat jujur mengakui kekeliruan serta mengikatkan kembali tali solidaritas.
Terlebih, saat ini saudara kita tengah menangis di bawah guyuran debu Merapi, sisa guncangan gempa dan tsunami Mentawai, atau kelelahan menghadapi banjir bandang. Karena itu, pada Idul Kurban ini kita perlu bermuhasabah dengan tulus dan penuh kejujuran.
Mengapa kepekaan dan kesantunan sikap terasa semakin pudar, padahal kita telah merintis dan membinanya selama berabad-abad. Dan, mengapa jarak antara kaum kaya dan kaum papa kian lebar menganga.
Rasulullah pernah bersabda, "Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam menimbun harta, sungguh mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam," (HR Al-Dailami).
Kita sesungguhnya hendak menjawab, "Tidak!" Tapi, sudahkah perjalanan ibadah kurban itu berdampak dalam membentuk karakter pribadi dan masyarakat? Jika bekurban mengisyaratkan sikap peduli melalui simbolisasi pembagian daging hewan, apakah kepedulian itu juga telah menjadi watak yang berperan fungsional, bukan saja pada saat kurban dilaksanakan, tapi juga dalam keseluruhan perjalanan hidup?