Senin 08 Nov 2010 05:18 WIB

Sekjen OKI: Islamophobia Seperti Anti-Semit Tahun 1930

Sekjen OKI
Foto: AFP
Sekjen OKI

REPUBLIKA.CO.ID,JEDDAH--Kebencian terhadap Islam yang berkembang dewasa ini khususnya di dunia Barat dinilai seperti perasaan anti-semitisme yang pernah terjadi pada 1930-an. Sekjen OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu, menyorot perasaan benci yang berlebihan yang dialami imigran Muslim di Eropa.

Bahkan, para politikus di Barat kini cenderung menggunakan isu imigran Muslim ini untuk meraih dukungan suara saat pemilu. ''Isu ini menjadi agenda politik,'' kecamnya saat diwawancarai AFP.

''Yang mengkhawatirkan saya, otoritas politik atau partai politik bukannya menghentikan ini, tapi malah menggunakannya untuk tujuan politik mereka, untuk mendapatkan dukungan lebih besar lagi pada saat pemilu,'' kritiknya.

Ihsanoglu menambahkan, ''Saya takut bahwa kita akan melalui proses seperti yang terjadi pada awal 1930-an ketika anti-Semit menjadi masalah besar dalam politik sehingga mendorong lahirnya fasisme dan Naziisme. Saya pikir sekarang kita berada dalam tahap pertama situasi seperti itu.''

Dia memperingatkan bahwa pandemi dari fitnah terhadap Islam terus meningkat. OKI pun terus memantau Islamophobia di seluruh dunia. Dia pun mencontohkan kasus penolakan terhadap rencana pembangunan Islamic Center di dekat lokasi Ground Zero di New York dan gerakan anti cadar di Eropa yang kemudian mendorong terjadinya penyerangan fisik terhadap umat Muslim di kedua benua itu.

Masalah yang krusial, lanjutnya, telah terjadi pelembagaan sentimen anti-Muslim di Eropa, seperti larangan mendirikan menara masjid di Swiss dan larangan memakai cadar di Prancis. ''Kasus larangan cadar ini merupakan kisah yang menyedihkan, karena itu terkait dengan tradisi yang dilakukan di negara tertentu, itu sama sekali tidak berhubungan dengan Islam,'' jelasnya.

''Namun negara-negara seperti Prancis, Spanyol, dan Belanda bereaksi dengan membuat undang-undang.''

Menurutnya, alasan asimilasi yang digunakan oleh negara-negara Eropa sangat lemah. ''Mengapa asimilasi? Jika Eropa dan Barat mengkampanyekan perlindungan hak kalangan minoritas di seluruh dunia, tapi mengapa ketika datang ke Eropa lantas dikatakan harus asimilasi? Sekali lagi, ini menunjukkan standar ganda,'' kritiknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement