REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kemiskinan menjadi permasalahan sosial. Pada masa pemerintahan Islam, persoalan kemiskinan juga mengemuka. Tak hanya pemerintahan yang bertanggung jawab menyele saikan masalah ini, baik melalui berbagai program maupun lembaga sosial, kaum cendekia juga meresponsnya dengan ide-ide pemecahan masalah kemiskinan.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, kedudukan lembaga sosial diperkuat. Dengan itu, kemiskinan berhasil ditekan sekaligus menghadirkan kesejahteraan di tengah masyarakat Muslim. Asas keadilan di bidang ekonomi benar-benar ditegakkan. Masalah ini tidak luput dari perhatian para sarjana ekonomi Muslim abad pertengahan.
Kontribusi pemikiran mereka sangat berpengaruh. Diskusi dan kajian ilmiah mengenai kemiskinan dan bagaimana mengatasinya berlangsung intens. Para sarjana, ilmuwan, cendekiawan, dan juga ulama mengaitkan persoalan ini dengan aspek sosial, politik, budaya, hingga keagamaan.
Pada akhirnya, langkah itu membangkitkan motivasi serta kesadaran umat Islam terhadap tanggung jawab sosialnya. Abu Hamid al Ghazali (1058-1111), misalnya, memaparkan persoalan kemiskinan itu dalam bukunya yang berjudul al-Tabr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk. Ia memetakan pula wilayah-wilayah miskin.
Ia menawarkan solusi kemiskinan dalam bukunya itu. Filsuf dan ilmuwan legendaris ini mengajukan teori distribusi pendapatan. Selain itu, al-Ghazali menekankan perlunya optimalisasi kesejahteraan sosial. Menurutnya, segala kebijakan ataupun program pembangunan harus diarahkan bagi tercapainya kemakmuran bersama.
Cendekiawan lainnya yang menghasilkan karya bertema sama adalah Ibnu Taghribirdi. Ia muncul dengan risalahnya al-Nujum al-Zahira fi Muluk Mishr wa ala Qahira dan al-Maqrizi dalam buku al-Mawa'iz wa al I'tibar fi Dzikr al-Khitat wa al-Athar. Menurut dia, kemiskinan merupakan fenomena sosial yang harus ditangani bersama.
Dari pandangan ilmuwan Barat, yaitu Mine Ener dan Michael Bonner, tradisi berbagi telah dipraktikkan sejak awal Islam. "Namun, semakin menemukan pijakan dan lebih terlembaga pada era kejayaan," papar keduanya dalam buku Poverty and Charity in Middle Eastern Context.
Ener dan Bonner menambahkan, umat Islam melakukan berbagai terobosan dan membuat pengembangan program pengentasan kemiskinan makin variatif. Badan zakat, amal, atau takaful bermunculan bak jamur pada musim hujan di wilayah-wilayah Islam. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan. Salah satunya adalah membangun berbagai sarana, seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan, masjid, rumah penampungan, dan lainnya. Semua fasilitas itu ditujukan untuk memberikan pelayanan sebaikbaiknya kepada masyarakat tidak berpunya. Lembaga filantropis dan wakaf juga berkembang pesat. Ini telah diawali sejak Dinasti Umayyah.
Tamim Ansyari menceritakan melalui bukunya, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin. "Badan wakaf bisa dikatakan sebagai perusahaan nirlaba versi Muslim yang didirikan untuk tujuan amal," katanya.
Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, umat Islam mencapai peradaban gemi lang. Perdagangan, pertanian, hingga ilmu pengetahuan tumbuh pesat. Kondisi itu mendorong terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, ada kenyataan pula bahwa masih terdapat warga yang hidup dalam kondisi serbasulit.
Khalifah Abbasiyah keempat, Harun alRasyid, dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Sifat kedermawanan nya telah melegenda. Dengan menyamarkan diri sebagai pengemis atau rakyat jelata, Harun al Rasyid berjalan di pasar-pasar atau perkampung an untuk men dengar lang sung masalah rakyatnya.
Setelah itu, ia mengambil kebi jakan untuk membantu mereka. Di sisi lain, peran pemerintah sangat dibu tuhkan agar pengentasan kemis kinan efektif. Ini pun berlangsung selama periode pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1517).
Adam Sabra mengisahkannya dalam buku Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt. Sabra menuturkan, karena dilengkapi dengan perangkat-perangkat kekuasaan, program tersebut berjalan di seluruh negeri. Saat itu, pegawai pemerintah tak hanya bertugas mengumpulkan pajak, tetapi juga zakat, wakaf, dan amal serta mendistribusikannya.
Mereka menggandeng lembaga amil ataupun para tokoh agama dan masyarakat lokal. Dengan jalinan kerja sama seperti itu, penyalur an bantuan bagi rakyat miskin menjadi lebih tepat sasaran. Sabra menggam barkan pemerintahan Mamluk terli bat langsung untuk membantu kaum miskin.
Para pengemis dan tunawisma dilindungi di panti-panti sosial yang biasa disebut mawdi al hukm. Mereka tak lagi terlunta-lunta di jalanan Kairo. Sedangkan, mereka yang mengalami kesulitan membayar utang-utangnya diberi bantuan melunasinya. Peran negara dalam pengentasan kemiskinan juga diungkapkan oleh Mine Ener.
Melalui buku berjudul Religious Prerogatives and Policy of the Poor, Mine Ener mengatakan, pemerintahan Islam meneruskan inisiatif pengembangan proyek-proyek pengentasan kemiskinan serta pembinaan dan pemberdayaan rakyat. Sebagian hasil pajak diarahkan untuk bidang sosial, termasuk membuka dapur-dapur umum.
Keberadaan sarana ini amat dibutuhkan kaum miskin saat mereka mengalami gagal panen atau stok bahan makanan menipis. Adam Sabra mencatat, kondisi tersebut pernah terjadi antara abad ke-13 dan ke-16. Negara secara aktif turun tangan mengatur distribusi bahan makanan dan juga mengendalikan harga. Langkah tersebut efektif untuk melindungi warga miskin dari bahaya kelaparan.