Jumat 08 Oct 2010 20:52 WIB

Menjadi Yatim Psikologis

Rep: Oleh Dede Sulaeman/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,Seorang anak masuk jeruji besi lantaran terlibat narkoba. Sementara itu, anak yang lain terpaksa dinikahkan dini dan putus sekolah karena terlalu jauh menjalin hubungan dengan lawan jenis. Banyak kasus memalukan dan memilukan yang menimpa anak-anak kita. Hampir di semua wilayah Indonesia, kasus serupa itu berserak dan sudah menjadi hal lumrah. Padahal, peristiwa itu jauh dari akhlak Islam.

Hendaknya kita malu dan merasa berdosa dengan kasus-kasus yang tak jauh dari pandangan mata itu. Bukankah malu itu sebagian dari iman? Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?

Ternyata banyak anak yatim di sekeliling kita. Anak yatim bukan hanya sekadar ditinggal mati orang tuanya. Anak yatim juga berarti bahwa mereka yang sama sekali tidak mendapat perhatian orang tuanya. Mereka memiliki orang tua, tetapi keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka sibuk dengan hobi dan pergaulannya di luar. Tidak ada figur yang mereka teladani kecuali tayangan televisi dan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Teladan mereka adalah budaya urakan dan pergaulan bebas.

Dalam ajaran Islam, orang tua seharusnya memiliki perhatian lebih terhadap anak-anaknya. "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu." (QS At-Tahrim [66]: 6).

 

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Barangsiapa yang tidak mengajarkan hal-hal yang bermanfaat kepada anaknya dan membiarkan begitu saja, berarti dia telah mendurhakai anaknya."

Semua orang tua tentu tidak ingin anaknya mengatakan, "Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah mendurhakaiku di saat aku masih kecil, setelah besar aku pun mendurhakaimu. Engkau telah menyia-nyiakanku saat aku masih kecil, aku pun menyia-nyiakan engkau ketika engkau sudah lanjut usia."

"Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa karena ia telah menyia-nyiakan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya." (HR Nasai dan Al-Hakim). Penyia-nyiaan anak yang paling parah adalah membiarkannya tanpa mendapatkan pendidikan dan tidak mengajarkannya adab Islam. Sesungguhnya, kepedulian kedua orang tua tidak hanya terbatas menyekolahkannya, tetapi mereka juga harus membimbing dan membantu mempraktikkan bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua dan taat dalam beragama.

Perhatian orang tua kepada anaknya sangat penting. Sebab, dari situ sang anak akan mulai belajar menentukan masa depannya di kemudian hari. Banyak tokoh bangsa yang hebat dan terkenal karena perhatian khusus dan pendidikan langsung orang tuanya. Dan, banyak pula anak-anak gagal sebagai manusia unggul sebab tidak ada perhatian orang tuanya. Mari meluangkan waktu untuk memberi perhatian dan pendidikan kepada anak-anak kita. Wallahu A'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement