Senin 04 Oct 2010 03:04 WIB

Pengetahuan Umat tentang Walisongo Bercampur Sinkretisme

Rep: Asep Nurzaman/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-–Kisah perjuangan sembilan wali (Walisongo) dalam syiar Islam di tanah Jawa pada abad ke-17 sudah banyak diketahui umat. Namun, pengetahuan masyarakat itu tak jarang bercampur dengan unsur sinkretisme (paham pencampuran budaya bahkan klenik dalam peribadatan) yang tidak ada dalam Islam dan para wali pun tidak mengajarkannya.

Oleh karena itu, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Provinsi Jawa Timur mengadakan Seminar Pemikiran Islam, di Gedung Dakwah Al Hilal, Surabaya, Ahad (3/10). Seminar yang mendatangkan sekitar 200 Dai se-Jatim dan Bali ini bertema 'Membedah Visi dan Misi Dakwah Walisongo'.

Sudarno Hadi, ketua panitia seminar, menjelaskan, sejarah Walisongo dibedah dari sisi ilmiah. Unttuk itu seminar menampilkan pakar sejarah kebudayaan Islam, seperti Prof Ali Mufrodi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya dan Prof Aminuddin Kasdi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Selain itu hadir pula 16 ulama dari Malaysia untuk memberikan perbandingan pemahaman tentang sejarah Walisongo, mengingat banyak pula masyarakat Jawa yang menetap di Malaysia. Ulama tersebut salah satunya berasal dari Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam (CITU) Universitas Teknologi Mara 40450, Syah Alam.

Pemahaman masyarakat mengenai keberadaan Walisongso banyak yang berasal dari dongeng secara turun temurun. Tak ayal banyak pula bagian dari cerita tersebut yang sebenarnya hanya budaya masyarakat setempat.

"Kalau di masyarakat kita kan seringkali tahu cerita tentang Walisongo itu berdasarkan dongeng, cerita dari mulut ke mulut. Maka, di sini kami membekali para dai untuk bisa meluruskan sejarah Walisongo berdasarkan referensi ilmiah," tutur Sujono Hadi.

Aminuddin menulis dalam makalah yang disampaikan dalam seminar tersebut pemahaman masyarakat terhadap Walisongo salah satunya adalah tentang pengertian kata 'songo' atau 'sanga'. Ada yang menghubungkan pengertian 'sanga' dengan keberadaan jumlah dewa-dewa Hindu -- yang dikenal masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam.

Menurut Aminuddin, pemahaman masyarakat tersebut perlu dikaji secara ilmiah dengan memikirkan situasi dan kondisi mayarakat pada masa itu. Dengan demikian pandangan yang tidak sesuai dengan dasar Islam -- Alquran dan Hadits -- dapat diluruskan.

Dai yang hadir sebagai peserta seminar adalah mereka yang tergabung dalam DDII Jatim. "DDII sendiri mencontoh metode yang dilakukan oleh para wali. Misal, kalau dulu wali itu dakwahnya menetap di tempat dia berdakwah, kami juga demikian," ungkap Sudarno Hadi.

Seperti para wali pula, banyak dai menikah dan berkeluarga di tempat dakwahnya. "Alhamdulillah, sudah bisa dilihat hasilnya, misalnya program dakwah yang dilakukan di lereng Gunung Semeru. Tiga tahun yang lalu cuma ada enam kepala keluarga (KK) yang beragama Islam, sekarang sudah sekitar tigaratusan KK," ujar Sudarno Hadi.

Pengorbanan dan kinerja para dai, lanjut Sudarno, sangatlah tidak mudah. Mereka harus siap sedia 24 jam menghadapi masyarakat. Seperti seleksi alam, ada beberapa dai yang merasa tidak sanggup, namun banyak pula yang bertahan.

Oleh sebab itu, dalam dua bulan sekali para dai DDII Jatim yang jumlahnya sekiutar 80 orang, dikumpulkan untuk laporan,evaluasi, pemecahan masalah dari setiap kendala tiap daerah, dan pembekalan seperti halnya seminar kali ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement