Oleh Dr A Ilyas Ismail
Pada suatu hari, Abu Bakar As-Shiddiq bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah bin Atsatsah, salah seorang kerabatnya. Sebab, ia telah ikut menyebarkan berita bohong mengenai putrinya, Siti Aisyah. Namun, Allah SWT melarang sikap Abu Bakar itu dengan turunnya ayat ke-22 dari surah An-Nur.
“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan mem beri (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berla pang dada. Apakah ka mu tidak ingin agar Allah meng ampunimu? Sesungguhnya, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nur [24]: 22).
Ayat ini mengajarkan kepada kaum Muslim agar melakukan (paling tidak) dua hal kepada orang yang pernah berbuat dosa. Pertama, al-afwu, yaitu mem beri maaf. Dalam bahasa Alquran, kata al-afwu, berarti ‘menghapus’ atau ‘menghilang kan luka-luka lama yang ada da lam hati’. Untuk itu, tidak disebut memberi maaf manakala ma sih tersisa ganjalan, apalagi dendam yang membara dalam hati.
Kedua, as-shafhu, yaitu berlapang dada. Kata as-shafhu berarti ‘irdhu as-syai’, yaitu permukaan atau dataran sesuatu yang menggambarkan kelapangan. Dari kata ini terbentuk kata mushafahah yang berarti bersalam-salaman, dan kata shafahat yang berarti lembaran-lembaran. Jadi, dengan as-shafhu, kita disuruh bersikap lapang dada untuk menutup lembaran-lembaran lama dan membuka serta mengisi lembaran yang baru.
Menurut pakar tafsir Al-Ashfahani, as-shafhu lebih tinggi nilainya dibanding al-afwu. Itu karena, pada al-afwu, boleh jadi ada sesuatu yang sulit dihapus dan dibersihkan, atau karena lembaran yang terkena noda. Meskipun sudah dibersihkan, ia tidak akan sebagus lembaran yang baru sama sekali.
Di samping dua hal, al-afwu dan as-shafhu, kepada orang yang bersalah itu, kita diminta pula berbuat baik dan terbaik ( ihsan). Ihsan itu bukan kebaikan biasa, akan tetapi keutamaan ( al-fadhl) yang sangat tinggi. Ia di atas kewajiban atau sesuatu yang seharusnya. Dicontohkan dalam perihal membayar hutang. Itu merupakan kewajiban, tetapi membebaskan piutang adalah keutamaan ( ihsan). Meminta maaf adalah kewajiban, tetapi memberikan maaf sebelum diminta adalah keutamaan ( ihsan).
Pada hari yang suci dan fitri ini, sudah selayaknya kita memulai hidup baru dengan memperkuat tali silaturahim, saling memaafkan, dan saling berbagi dalam kebaikan dan kebahagiaan. Itulah sesungguhnya jalan takwa yang harus kita budayakan dan berdayakan sepanjang hidup kita. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orangorang yang bertakwa dan orangorang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Nahl [16]: 128). Wallahu a’lam. Mohon maaf lahir dan batin.