REPUBLIKA.CO.ID,BANDA ACEH--Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dinilai belum ada kemajuan, karena kondisi masyarakat masih seperti sebelum diberlakukannya syariah di provinsi itu, kata Sekjen Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Aceh, Sayid Azhar. "Untuk mempercepat pelaksanaan Syariat Islam maka kami akan menggelar kegiatan keagamaan selama sebulan penuh sepanjang Ramadhan 1431 Hijriyah, yang bertujuan mendorong dan membantu pelakasanaan Syariat Islam di Aceh," katanya di Banda Aceh, Rabu.
Beberapa kegiatan keagamaan yang akan dilakukan DDII, antara lain berupa "Daurah Syariat Islam" bagi aparat gampong (desa) dan remaja khususnya di Kecamatan Tireu, Kabupaten Pidie. "Kegiatan itu kami laksanakan karena ada indikasi secara kasat mata belum ada perbedaan yang signifikan antara kondisi sebelum dan sesudah Aceh menerapkan syariat Islam," katanya menjelaskan.
Sayid menyebutkan dengan menggunakan indikator orang awam bahwa pengamalan agama masyarakat di Aceh setelah berlaku Syariat Islam tidak berubah banyak, seperti jamaah shalat wajib di masjid jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah warga di warung kopi saat shalat. Indikator lain, tambahnya, masih banyak kaum hawa yang keluar rumah membuka aurat, warga yang tidak bisa baca Alquran juga tidak sedikit, pergaulan bebas remaja putra dan putri seperti tidak ada yang melarangnya.
"Belum lagi lagi kalau bicara pada kejahatan yang lebih serius seperti zina, mabuk-mabukan, perlakuan sewenang-wenang, korupsi, premanisme ekonomi dan politik, ketidak-pedulian penguasa yang memerlukan penerapan hukuman dengan prosedur yang rumit untuk menjerat pelakunya," kata dia.
Sayid menjelaskan bahwa terjadinya berbagai penyimpangan dan kriminalitas di Aceh itu bukan berarti sebuah kesalahan dengan Syariat Islam. "Syariat Islam adalah konsep dari yang Maha Tahu (Allah SWT), Islam merupakan satu-satunya sistem hidup (way of life) yang sah di sisi Allah guna menjamin manusia bahagia di dunia dan akhirat," katanya mengutip ayat Alquran.
Karenanya, belum diperolehnya kemajuan pelaksanaan Syariat Islam itu dinilai pola pendekatan dalam mengaplikasikan undang-undang tersebut. "Artinya, selama ini di Aceh belum berimbang antara pendekatan hukum, dakwah dan pendidikan dalam proses pelaksanaan syariat Islam, sehingga ketika proses penegakan hukum mau dijalankan, maka perlawanan (resistensi) justeru muncul dari ummat Islam sendiri," kata dia.
Keadaan itu berbeda ketika Rasulullah SWA melaksanakan proses penegakan hukum, umat sudah disiapkan dengan pola pendidikan dan dakwah yang benar sehingga mereka taat dan patuh (sami'na wa atha'na) terhadap aturan yang ada, kata dia.